Filsafat Irfan, Pengurai kecemasan menjadi debar kebahagiaan

Filsafat Irfan: Pengurai kecemasan menjadi debar kebahagiaan

Hidup mempunyai ruangnya tersendiri, ia adalah sebuah antara dimana dua kutub hal saling berkaitan pun juga saling bertentangan. Hidup, ataulah yang berarti sebuah kehidupan yang dialami anak manusia, adalah tentang bagaimana manusia menjalani dan mengerti apa dan bagaimana kehidupan yang sedang dijalaninya. Dalam pencariannya ditemukan arti, namun tidak jarang dalam penantiannya akan makna, yang ditunggu tak kunjung datang, dan hadirlah sebuah kecemasan, suatu hal yang alami bagi kehidupan seorang manusia.

Filsafat Irfan: Pengurai kecemasan menjadi debar kebahagiaankecemasan ini menjadi suatu hal yang tidak mengenakkan bagi kehidupan seorang manusia, hal itu menjadikan dirinya resah, meronta dan menemukan titik nadir sebuah kesengsaraan hidup. cerita ini menjadi yang sangat sering terjadi dan sangat begitu akrab dengan kehidupan seorang manusia. lantas bagaimana hidup, kecemasan dan kesengsaraan itu akan mengalami jalan luruhnya? padahal pada fitrahnya manusia mengharapkan ketenangan dan kebahagiaan hidup yang begitu dinantikannya. hidup yang seperti apakah yang membahagiakan?

dalam sebuah teori tentang Wujud Universal, maka manusia adalah wujud yang tercakup dan menjadi sebuah titik singgung terpenting di dalamnya, yang pertama adalah karena kapasitas pemikirannya, dan yang kedua adalah tentang perasaannya yang menjadi buhul antara diri dan lainnya yang sedemikian kuat. manusia yang menjalani dirinya akan senantiasa menyadari bahwa dirinya bukanlah satu hal yang terputus dari ‘keadaan keseluruhan’, ia adalah titik di antara jaring yang terhubung, terus dan terus dalam tali Wujud yang tak terputus. satu-satunya hal yang akan melegakannya adalah terus mengafirmasi keberadaan wujudnya yang bergantung kepada Wujud Mutlak yang menjadi tempatnya bergantung.

Manusia yang meng-iyakan ketidaksempurnaannya inilah, dan yang meng-iyakan kebutuhannya akan Dia yang sempurna ini menjadi manusia yang memasukkan ruang penuh dirinya yang sempit kepada ruang luas yang tak terbatas dari Wujud yang tak terbatas. ia mengalami keluasan, ia mengalami diri yang, seperti terjatuh dalam pelukan suatu hal yang menenangkannya, dirinya sendiri yang Maha Besar. manusia, sebagai makhluk yang begitu membutuhkan bantuan interaksi, akan menemukan keberadaannya yang dulunya kerdil sempit kepada diri yang besar dan luas. ketenangan tak terbatas, dan disanalah sebuah kecemasan terurai.

pertanyaannya adalah tentang bagaimana hal itu akan mewujud dalam diri manusia, karena sebuah kenyataan indrawinya, bahwa ‘keterhubungan’ ini terpisah dan terasing dalam keberadaan manusia yang terpecah-pecah, bagaimana menggapai yang SATU dalam kenyataan bahwa ia BANYAK dan tak mengalami hingga, bagaimana hal itu?

usaha jawabnya adalah menggapai hubungan itu, menjalani hubungan itu sendiri, dan tentu hal ini menyediakan waktu dan ruang yang tidak sebentar, atau malah mungkin selamanya, karena hubungan di sini adalah tentang bagaimana manusia bisa menyapa dan berinteraksi langsung dengan dirinya yang sebenarnya, dirinya yang diri-Nya. Tugas ini telah diajarkan dan disampaikan Nabi juga para wakilnya, para manusia yang mencapai diri hakikinya, dan keberadaannya menjadi wakil dari-Nya. secara teori hal itu menjadi terangkum dalam sebutan agama, dan dalam reniknya terbentuk dalam lipatan irfan; usaha pencapaian manusia dalam melewati dirinya menuju diri-Nya, ataupun dalam diri-Nya.

Irfan menjadi pilihan yang logis, manusia dan kecemasannya membutuhkan banyak jawaban dari pertanyaan pun pernyataannya sendiri, dan Irfan adalah sebuah laut yang menyediakan kesediaan penawar bagi jiwa-jiwa yang haus akan kebahagiaan. ia bukan laut asin yang malah menghauskan, namun ia laut tawar yang memberikan semangat penyegaran dalam hidup manusia yang terhimpit dan terasinkan perangkap masalah kehidupan.

terdekat sekarang adalah bagaimana mengarungi laut tersebut, maka inilah sebuah masalah yang dialami setiap individu manusia yang sadar akan keberadaan dirinya yang tak berdaya menghadapi kecemasan; manusia ini membutuhkan bimbingan, dan bimbingan hanya bisa diberikan oleh mereka yang telah sampai dan lolos dalam jebakan-jebakan kecemasan kehidupan. itu karenanya setiap manusia membutuhkan guru pembimbing, dan siapakah pembimbing itu, maka jawab itu pun menjadi pencarian dan usaha mandiri dari setiap manusia. pastinya ia menjadi penting bagi dirinya.

sendiri: Guruku, mohon senantiasa bimbingan dan petunjukmu, akan bagaimana diri ini tanpa Engkau di sisi gelapku, akan bagaimana diri ini tanpa sinar terang darimu…

: wallahu a`lamu bisshowab, bisa jadi tulisan ini masih bersambung,
(oleh Studentau-Othentic Philosophia-Irfan Analitic pada 10 September 2011 jam 7:06/red:sahbatmuthahri)

Tinggalkan Komentar