Ayat Tathir, Dalil Kesucian Ahlulbayt As

Ayat Tathir

إِنَّما يُريدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَ يُطَهِّرَكُمْ تَطْهيراً

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.

Poros Pembahasan

Ayat Tathir merupakan salah satu ayat-ayat yang berkaitan dengan wilayah / kepemimpinan Imam Ali a.s. dan para Imam yang lain. Ayat yang setiap katanya lazim ditelaah ini, secara gamblang juga menginsyaratkan tentang kemaksuman para pribadiagung tersebut.

Mukadimah

Khitab ayat kedua puluh delapan hingga tiga puluh empat surah Al-Ahzab, ditujukan kepada para isteri nabi Saw, hanya saja di antara ketujuh ayat tersebut turun sebuah ayat yang dikenal dengan ayat Tathir dengan kandungan dan nada yang berbeda. Salah satu perbedaan itu adalah dhamir (kata ganti); dalam ayat-ayat sebelumnya sekitar 25 dhamir atau fi’il (kata kerja)berbentuk muannats (perempuan) dan setelah ayat ini juga terdapat dua dhamir dan kata kerja muannats pula. Sedangkan dhamir dan kata kerja yang berada dalam ayat Tathir seluruhnya berbentuk mudazkkarataudhamir yang mencakup kedua jenis atau dhamir yang tidak khusus mengarah kepada kaum perempuan, padahal ayat ini diapit oleh 27 dhamir muannats (khusus kaum hawa) sebelum dan sesudahnya.

Apakah ini sebuah kebetulan semata ataukah hal ini menyimpan sebuah filsafat tertentu?

Tanpa diragukan lagi, ini bukan sebuah kebetulan,melainkan terkandung sebuah rahasia dan sebab yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Jika kandungan ayat Tathir juga mencakup isteri-isteri Rasulullah Saw, lalu mengapa dhamir dan khitab dalam ayat tersebut berubah dan tidak memakai dhamir muannats seperti yang digunakan sebelum dan sesudahnya?

Hal ini secara yakin dapat dipahami bahwa kandungan ayat dan perubahan dhamir dan kata kerja yang terjadi mengindikasikan bahwa isteri-isteri nabi bukan yang dimaksud oleh ayat Tathir ini.

Penjelasan dan Tafsir

Ayat Tathir, Burhan Yang Jelas Atas Kemaksuman

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, setiap kata dari ayat mulia ini perlu dikaji dan direnungkan. Oleh karena itu setiap kata dari ayat ini akan kami bahas satu persatu berikut ini:

1. انما berarti hanya, yang menunjukkan hashr. Dari kata ini dapat dipahami bahwa dalam ayat ini terdapat hal yang tidak dimiliki oleh seluruh kaum muslimin, karena jika pada awalnya memang umum untuk mereka, tidak perlu kata ini disebut di dalamnya.

Dalam ayat ini, kotoran tidak dileyapkan dari semua kaum muslimin, akan tetapi khusus person-person yang telah disebut di sana. Di samping itu, kotoran yang dimaksud juga khusus bukan sembarang kotoran.

Hal ini disebabkanketakwaan yang biasa mencakup semua muslimin dan menghindar dari segala dosa merupakan kewajiban semua orang; sedangkan apa yang dimaksud oleh ayat ini tentu hal yang lebih tinggi dari sekedar ketakwaan biasa.

2. یرید الله Allah menghendaki. Apakah maksud dari kehendak Allah dalam ayat ini? Apakah kehendak itu Tasyriiyahatau Takwiniyah?

Jawab: untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan secara ringkas arti dari dua iradah ini:

Iradah  Tasyriiyah adalah perintah Allah Swt, dengan kata lain iradah ini adalah kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan-Nya. Ayat seratus delapan puluh lima dari surah Al-Baqarah merupakan salah satu ayat yang menunjukkan iradah ini. Dalam ayat ini, setelah menjelaskan kewajiban puasa di bulan suci Ramadhan dan pengecualian kewajiban ini dari para musafir dan orang-orang yang sakit, Allah Swt berfirman:

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَ لاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan kalian bukan kesulitan.

Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah tasyri’iyah; artinya hukum Allah Swt tentang puasa di bulan Ramadhan adalah hukum yang mudah dan tidak berat; bahkan seluruh hukum Islam bukanlah hukum yang sulit. Oleh karena itu Rasulullah Saw bersabda:

بعثت اليکم بالحنفية السمحة السهلة

Aku diutus kepada kalian dengan syariat yang mudah.”[1]

Iradah takwiniyahberarti penciptaan; artinya kehendak Allah Swt untuk menciptakan sesuatu atau seseorang.

Contoh iradah ini dapat dijumpai pada ayat delapan puluh dua surah Yasin, di mana Allah berfirman:

إِنَّما أَمْرُهُ إِذا أَرادَ شَيْئاً أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:” Jadilah!” maka terjadilah ia.” Maksud kehendak Allah dalam ayat ini adalah kehendak takwiniyah (penciptaan). Allah Swt Mahakuasa, jika Dia berkehendak untuk menciptakan dunia yang unik dan megah yang sedang kita tinggali ini untuk kedua kalinya, maka itu hanya dengan sekedar memberikan sebuah perintah saja. Bagaimana tidak, Dia Dzat Yang Mahakuasa, dan menurut para ilmuwan, matahari dunia itu besarnya satu juta dua ratus ribu kali lipat besar bumi dan di tata surya terdapat sekitar seratus milyard bintang di mana ukuran sedangnya saja sama dengan ukuran matahari.

Dengan demikian, sedikit banyak kita sudah mengenal dua kehendak Allah Swt di atas. Pertanyaannya sekarang ayat Tathir berkaitan dengan kehendak Allah yang manakah? Artinya apakah Allah menghendaki Ahlul bait a.s. suci dari segala kotoran dan ingin mereka menjauhinya? Atau apakah Allah sendiri yang menjauhkan mereka dari kotoran itu?

Jawab: tanpa diragukan lagi maksud dari kehendak Allah di sini adalah iradah takwiniyah; karena perintah takwa dan menjauhi segala dosa bukan khusus Ahlul bait a.s. akan tetapi semua umat Islam terkena kewajiban ini, dan pada pembahasan sebelumnya telah dipahami bahwa kata انما mengisyaratkan bahwa ini adalah hal yang istimewa yang tidak dimiliki seluruh umat Islam.

Dengan demikian, Allah dengan kehendak takwiniyah-Nya menganugerahkan sebuah kekuatan kemaksuman yang dapat menjaga mereka dari berbagai kesalahan dan dosa serta senantiasa menjaga mereka tetap suci darinya.

Soal: apakah kekuatan ishmah para maksum ini bukan sebuah keterpaksaan? Dengan kata lain, apakah mereka tidak memiliki pilihan untuk melakukan dosa dan tanpa ikhtiar pula mereka melaksanakan segala perintah Allah Swt?

Dengan ungkapan ketiga, apakah jika mereka menginginkan untuk berbuat kesalahan atau dosa, mereka tidak kuasa melakukannya? Jika demikian, makam ishmah bukan hal yang dapat dibanggakan.

Jawab: sesuatu yang mustahil dapat dibagi kepada dua bentuk; mustahil secara logis dan mustahil dari sisi kebiasaan sehari-hari.

Mustahil secara logis adalah sesuatu secara akal sehat tidak mungkin terjadi, seperti pada satu waktu, kita katakan siang hari dan pada waktu itu pula kita katakan malam hari, secara logis ini tidak mungkin terjadi dan mustahil. Atau contoh lain, buku yang sedang kita telaah memiliki 400 halaman tapi kita juga mengatakan buku itu setebal 500 halaman, ini mustahil terjadi, karena secara akal sehat tidak mungkin dua hal yang saling bertentangan dapat bersatu.

Akan tetapi, terkadang sebuah hal secara akal sehat dapat terjadi namun biasanya kebiasaan manusia tidak melakukannya; seperti tidak ada orang yang berakal sehat mau berjalan dengan tanpa busana di gang-gang atau di jalanan. Hal ini secara akal dapat terwujud tapi hal ini tidak biasa terjadi. Oleh karena itu seluruh manusia terjaga dari pekerjaan semacam ini; karena akal sehat dan tidak pernah membolehkan manusia untuk melakukan hal yang buruk semacam itu.

Lebih dari itu, kita akan menemukan sebagian manusia maksum dari hal-hal lain, sebagai contoh musthail seorang ulama tersohor meminum minuman keras pada hari kedua puluh satu bulan suci Ramadhan di dalam mihrab masjid, di atas sajadahnya serta di depan para khalayak.

Pekerjaan ini secara logis dapat terjadi dan dibayangkan, namun secara adat dan kebiasaan itu sulit terjadi; karena posisi dan kepribadian seseorang mencegah hal itu terjadi.

Para maksum terjaga dari semua dosa dan kesalahan, artinya kendati secara logis mungkin saja mereka melakukan penyimpangan, akan tetapi pekerjaan itu mustahil muncul dari mereka; karena ketakwaan dan ilmu mereka terhadap semua dosa begitu gamblang seperti ilmu orang biasa terhadap buruknya bertelanjang keluar dari rumah, manusia biasa terhindar dari pekerjaan semacam ini maka para maksum juga demikian mereka terhindar dari dosa dan nista.

Dengan demikian, ishmah bukan sebuah keterpaksaan dan juga tidak bisa dikatakan bahwa ishmah telah membelenggu ikhtiar mereka untuk melakukan sesuatu.

Konglusinya, kehendak Allah dalam ayat ini adalah iradah takwiniyah dan ishmah tidak melenyapkan ikhtiar dan keinginan para imam sehingga memaksa mereka untuk menjauhi dosa, akan tetapi mereka secara utuh dan sadar memiliki ikhtiar juga.

3. Apakah maksud dari kata الرجس ?

Kata ini berarti kotoran; ia terkadang digunakan untuk kotoran materi terkadang untuk kotoran non materi dan terkadang pula digunakan untuk kedua-duanya. Hal ini sesuai dengan apa yang ungkapkan oleh Ragib dalam kitab Mufradatnya.

Untuk ketiganya, kami akan membawakan bukti dari ayat-ayat al-Quran:

a. Kotoran sipiritual: dalam ayat seratus dua puluh lima surah At-Taubah, disebutkan:

وَ أَمَّا الَّذينَ في‏ قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزادَتْهُمْ رِجْساً إِلَى رِجْسِهِمْ وَ ماتُوا وَ هُمْ كافِرُونَ

Dan sedangkan mereka yang terdapat penyakit dalam hati mereka, maka kotoran akan bertambah atas kotoran mereka; dan mereka mati dalam keadaan ingkar dan kafir.”

Ungkapan “في‏ قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ (dalam hati mereka terdapat kotoran), biasanya digunakan untuk kaum munafik dan tanpa diragukan lagi kemunafikan merupakan sebuah penyakit jiwa.

b. Kotoran materi dan dhahir: dalam ayat seratus empat puluh lima surah Al-An’am kita membaca:

قُلْ لا أَجِدُ في‏ ما أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلى‏ طاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

Katakanlah (wahai Rasulullah) aku tidak mendapatkan di dalam wahyu yang aku terima (makanan)  yang haram selain bangkai atau darah (hewan yang tumpah keluar dari badannya) atau daging babi, karena sesungguhnya semua benda (di atas) itu rijs dan kotoran…”.

Sangat gamblang sekali jika rijs dalam ayat ini adalah kotoran dhahir.

c. Kotoran maknawi dan dhahiri: rijs yang terdapat dalam ayat sembilan puluh surah Al-Ma’idah digunakan untuk kedua makna; dalam ayat itu disebutkan:

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَ الْمَيْسِرُ وَ الْأَنْصابُ وَ الْأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr, judidan mengundi nasib, itu kotoran dari perbuatan setan, maka jauhilah supaya kalian beruntung.”

Rijs dalam ayat mulia ini, berarti kotoran dhahir juga bermakna kotoran batin; karena minuman keras termasuk hal dhahir sedang perjudian dan mengundi nasib adalah kotoran batin.

Dengan demikian, rijs dalam ayat-ayat Al-Quran memiliki arti umum dan mencakup kotoran dhahir, batin, moral, teologi, ruhani, ragawi  dan yang lain. Oleh karena itu, Allah Swt dalam ayat Tathir dengan kehendak takwiniyah-Nya menginginkan untuk menyucikan Ahlul bait a.s. dari segala kotoran dan nista dengan seluruh pengertiannya.

Dalil kami bahwa kotoran itu universal mencakup hal materi maupun non materi adalah kemutlakan kata ini, artinya karena kata ini tidak dibatasi oleh hal-hal lain atau tidak disyaratkan dengan syarat lain.

ويطهركم تطهيرا kalimat ini pada dasarnya penjelas dari kalimat sebelumnya  ليذهب عنكم الرجس اهل البيت .

Sesuai ayat ini, Ahlul bait a.s. tersucikan dari segala noda dan nista dan dengan kehendak takwiniyah Allah Swt mereka suci dan maksum.

Siapakah Ahlul bait itu?

Dari ayat Tathir yang mulia telah kita pahami bahwa Ahlul bait memiliki keistimewaan lebih dari para muslim lain yaitu kesucian dan kemaksuman yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Akan tetapi pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah sipakah mereka itu? Siapakah gerangan sosok-sosok yang disucikan tersebut?

Begitu banyak pendapat yang mengemuka sehubungan dengan jawaban soal ini, berikut ini empat pendapat darinya:

  1. Sebagian ahli tafsir dari kalangan Ahli sunah menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah isteri-isteri Nabi Saw.[2] Sesuai penafsiran ini, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain tidak termasuk Ahlul bait. Dengan ungkapan lain Ahlul bait adalah kerabat nabi dari sisi sabab (yang disebabkan oleh perkawinan) dan tidak ada famili beliau dari sisi nasab yang tergolong di dalamnya.

Dalil mereka adalah ayat Tathir terletak di antara ayat-ayat yang turun berkenaan dengan isteri-isteri Nabi Saw, ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Jadi konteks ayat menuntut ayat mulia ini juga berkaitan dengan mereka.

Akan tetapi pendapat ini tidak dapat dibenarkan, dengan tiga dalil:

Pertama, sebagimana telah disebutkan dalam lima ayat sebelumnya dan pada awal ayat ketiga puluh tiga surah Al-Ahzab seluruh dhamir dan fi’ilnya disebut dengan bentuk muannats. Begitu juga dalam ayat setelahnya terdapat dua fiil dan dhamir yang sama. Sedangkan semua dhamir ayat ini berbentuk mudzakkar atau dhamir dan fiilnya tidak khusus untuk para wanta.

Oleh karena itu, dengan memperhatikan bahwa Al-Quran adalah firman Allah Swt yangfasih maka pastilah perubahan dhamir dan fiil memiliki maksud khusus dan jelas maksud dari Ahlul bait adalah sosok selain isteri nabi di mana Allah membedakan konteks ayat ini dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya.

Dengan demikian, sesuai penjelasan ini tidak mungkin para isteri nabi yang dimaksud dengan Ahlul bait, dan harus sosok lain yang penetapannya butuh pada pembuktian dan dalil.

Dalil kedua yang membantah kebenaran pendapat ini adalah dengan memperhatikan penjelasan dan tafsir ayat mulia ini, Ahlul bait memiliki kriteria khusus yaitu kemaksuman yang mutlak. Pertanyaannya sekarang, adakah ulama syi’ah maupun Ahli sunah yang mengatakan bahwa para isteri nabi itu maksum? Kendati mayoritas isteri-isteri nabi merupakan orang-orang yang baik, namun tidak mungkin diklaim mereka orang-orang yang maksum, malah sebaliknya dengan berbagai bukti yang gamblang dapat dikatakan sebagian dari mereka telah melakukan sebuah kesalahan fatal. Berikut ini satu contoh dari kesalahan tersebut:

Ali bin Abi Thalib a.s. merupakan satu-satunya khalifah yang selain dilantik oleh Allah secara langsung juga seorang Imam yang mendapat kepercayaan dan pilihan dari masyarakat.  Pemilihan itu juga jauh berbeda dengan ketiga khalifah sebelumnya; karena khalifah pertama terpilih melalui beberapa orangdi Tsaqifah Bany Sa’idah di mana kemudian masyarakat terpaksa membai’atnya. Khalifah kedua menaiki singgasana dengan mandat dari khalifah pertama. Khalifah ketiga juga terpilih sebagai pemimpin hanya melalui tiga suara dari enam suara yang telah ditunjuk. Akan tetapi Ali bn Abi Thalib a.s. mencapai haknya dengan dorongan dari masyarakat yang berbondong-bondong membai’at beliau. Bai’at umat manusia kepada beliau saat itu begitu dahsyatnya di mana beliau sendiri menuturkan:” Aku takut Hasan dan Husain terinjak-injak oleh kaki-kakimereka.[3]

Akan tetapi, (sungguh sayang sekali) salah satu isteri Nabi Saw,telah memberontak dan bangkit melawan pemimpin dan khalifah Rasulullah yang hak. Dia keluar dari kota Madinah dengan menunggangi onta menuju kota Bashrah dan melanggar perintah Rasul yang ditujukan kepada semua isterinya untuk tidak keluar dari rumah setelah kematian beliau. Saat tiba di kawasan Hau’ab dan mendengar gongongan anjing dia (Aisyah) teringat sabda Rasulullah yang bersabda:” Salah satu dari kalian akan menunggangi onta keluar dari Madinah dan akan tiba di kawasan Hau’ab dan di sana dia akan mendengarlolongan anjing, dia (pada dasarnya) telah keluar dari jalan Allah Swt.

Isteri nabi itu setelah mendengar bahwa kawasan yang sedang diinjak adalah Hau’ab akhirnya berniat untuk kembali; akan tetapi para provokator yang merancang peperangan Jamal memperdaya dan membujuknya untuk tetap melanjutkan perjalanan.[4]

Apakah seorang perempuan semacam ini yang melanggar perintah Rasulullah, menentang imam zamannya dan berperang melawan khalifah serta penyebab tumpahnya darah tujuh belas ribu muslim,dianggap sebagai seorang yang maksum dan jauh dari noda dan nista?

Yang lebih menarik lagi, dia sendiri mengakui kesalahannya dan menjustifikasinya (kendati alasannya itu tidak dapat diterima). Sebagian ulama fanatik Ahli sunah menganggap tindakan itu sebagai ijtihad dan tidak bisa ulahnyaitu dipersoalkan.

Apakah perkataan ini dapat dibenarkan? Apakah ijtihad di hadapan khalifah Rasul yang hak, di mana sang Khalifah menurut Aisyah sendiri adalah              “manusia terbaik” dianggap ijtihad yang sahih? Jika hal ini kita terima, maka tidak ada lagi orang yang berdosa, karena setiap kesalahan selalu dijustifikasi dengan busana ijtihad, istinbath dan semacamnya.

Hasilnya, perang jamal tidak dapat dijustifikasi secara logis dan tanpa keraguanlagi perancang perang ini adalah orang-orang yang bersalah dan tidak mungkin mereka dianggap bersih dari noda dan nista.

  1. Pendapat kedua mengatakan maksud dari Ahlul bait adalah Rasulullah Saw, Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan isteri-isteri beliau.[5]

Sesuai pendapat ini maka isyakalan pertama yang mengarah kepada pendapat pertama dapat dihilangkan; karena sekelompok laki-laki dan perempuan dapat diseru dengan dhamir mudzakkar. Akan tetapi dua isykalan lainnya masih belum terselesaikan yang berkaitan dengan para isteri nabi. Dengan demikian pendapat ini juga tidak dapat dibenarkan.

  1. Sebagian dari para mufasir menyatakan bahwa Ahlul bait dalam ayat mulia ini adalah para penduduk kota Mekkah dan mengatakan: maksud dari al-Bait yang ada pada kata Ahlul bait adalah rumah Allah, Ka’bah, oleh karena itu mereka yang tinggal di kota Mekkah berarti Ahlul bait.

Kesalahan pendapat ini begitu gamblang sekali, di mana dua isykalan pendapat pertama juga masuk di sana, selain itu keutamaan apakah yang membuat penduduk kota Mekkah lebih unggul dari penduduk kota Madinah sehingga mereka dijauhkan dari dosa dan kesalahan?

  1. Pendapat keempat adalah pendapat seluruh ulama Syi’ah yang tidak memiliki isykalan-isykalan di atas. Pendapat itu adalah Ahlul bait yang dimaksud oleh ayat mulia itu adalah sosok-sosok tertentu keluarga nabi yang tak lain adalah: Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan ketuanya sendiri, Rasulullah Saw.

Bukti kebenaran pendapat ini adalah pendapat ini jauh dari tiga isykalan di atas. Di samping itu, terdapat banyak riwayat yang menguatkan pendapat keempat ini. Allamah Thaba’thai dalam Al-Mizan menaksir riwayat tersebut sebanyak tujuh puluhan.[6]

Dan yang menarik adalah mayoritas riwayat itu disebut di dalam kitab-kitab hadis standar Ahli sunah, di antaranya:

1. Shahih Muslim.[7] 2. Shahih Tirmizi.[8] 3. Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain.[9] 4. As-Sunanul Kubra.[10] 5. Ad-Durul mantsur.[11] 6. Syawahid Tanzil.[12] 7. Musnad Ahmad.[13]

Oleh karena itu, riwayat-riwayat yang menafsirkan bahwa Ahlul bait adalah lima sosok Ali ‘Aba’ dari sisi kuantitas begitu banyak selain itu juga riwayat-riwayat tersebut tercatat dalam kitab-kitab standar Ahli sunah.

Fakhrur razi berkenaan dengan kuantitas riwayat ini dan kwalitasnya mengungkapkan sebuah penyataan menarik yang dibawakannya saat menafsirkan ayat Mubahalah (ayat 161 surah Ali Imran):” Dan ketahuilah, sesungguhnya riwayat ini merupakan riwayat yang disepakati kesahihannya oleh ahli tafsir dan hadis.[14]

Hasilnya, riwayat-riwayat yang menafsirkan Ahlul bait ini dari sisi kuantitasdan kualitasnya sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Dari sekian banyak riwayat itu kami akan membawakan satu riwayat saja yaitu hadis Kisa’.

Hadis Kisa’ telah dinukil dengan dua bentuk; terperinci dan ringkas.

Hadis Kisa’ yang terperinci yang biasanya dibaca untuk menyembuhkan penyakit dan menyelesaikan berbagai masalah dan problem, bukan hadis yang mutawatir. Akan tetapi hadis singkatnya merupakan hadis mutawatir di mana kandungannya berbunyi demikian:” Pada satu hari, Nabi Saw diberi sebuah kain, Rasul meminta Ali, Fatimah, Hasan dan husain. Saat mereka datang beliau membeberkain itu dan menaruhnya di atas kepala mereka, kemudian beliau berdoa:” Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah Ahlul baitku, singkirkanlah kotoran dari mereka. Kemudian Jibril datang dan membawa ayat Tathir tersebut.”

Dalam kitab-kitab Ahli sunah terdapat ungkapan berikut ini, di mana Ummi Salamah (salah seorang isteri nabi yang lain) mendekat dan meminta Rasul untuk menutupinya dengan kain itu jugaikut serta bergabung dengan mereka. Rasulullah Saw bersabda: “Kamu orang yang baik, akan tetapi tempatmu bukan di sini.”[15]

Dalam hadis lain ungkapan ini dinukil dari Aisyah.[16]

Dengan demikian, sesuai riwayat ini maksud dari Ahlul bait adalah lima orang Ahli kisa’.

Soal: Apa filsafat dari hal ini semua? Kenapa Rasulullah Saw menutup mereka dengan kain seperti itu dan mengucapkan hal itu kepada kelurga beliau sendiri?  Kenapa Ummi Salamah atau Aisyah dilarang oleh beliau untuk bergabung?

Jawab: tujuan Rasulullah Saw melakukan prosesi detail semacam ini adalah sebuah upaya pemisahan. Beliau igin menperkenalkan Ahlul bait tanpa pertanyaan susulan dan isykalan serta berupaya membuang kesamaran dan kemujmalan sehingga masyarakt di masa itu dan selanjutnya tahu atau tidak, tidak lagi memasuk-masukkan orang-orang lain ke dalam definisi Ahlul bait.

Atas dasar ini, beliau juga tidak mencukupkan diri dengan prosesi itu, akan tetapi beliau melakukan hal yang sangat menarik lagi, yang disebut dalam banyak sumber,di antaranya di dalam kitab Syawahid Tanzil (sesuai penuturanAnas bin Malik, pembantu khusus Rasul), Rasulullah Saw setelah peristiwa itu, setiap hari setelah azan Subuh dan sebelum didirikannya shalat jama’ah selalu berdiri di depan rumah Ali dan Fatimah dan mengulang-ulang kalimat berikut ini:” Shalat, wahai Ahlul bait.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, (hai) Ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih- bersihnya.

Pekerjaan ini dilakukan oleh Rasulullah Saw selama enam bulan berturut-turut.[17]

Riwayat ini juga dinukil dari sahabat Abu said Al-Khudri, di mana dia bertutur:” Rasulullah melakukan hal ini setiap subuh selama delapan bulan.”[18]

Bisa jadi, Rasulullah melanjutkan tindakan ini, hanya saja Anas bin Malik tidak melihat lebih dari enam bulan sedang Abu Said tidak lebih dari delapan bulan.[19]

Oleh karena itu, tujuan Rasulullah Saw dari tindakannya ini adalah memisahkan Ahlul bait dari orang lain dan menentukan mereka secara sempurna dan gamblang. Hal ini telah terlaksana secara baik, karena kita tidak akan mendapatkan hal lain yang diulang-ulang oleh beliau selain masalah ini. Dengan demikian, dengan berbagai penekanan dan penjelasan itu apakah adil jika kita menafsirkan Ahlul bait dengan selain lima sosok agung di atas?

Sebuah soal, dalam masalah yang sangat gamblang seperti ini, di mana kejelasannya laksana siang hari, mengapa masih ada segelintir orang yang tersesat dan berupaya menyesatkan orang lain?

Jawaban soal ini juga gamblang sekali dan itu adalah dikarenakan tafsir bi ray dan praduga,telah menutupi pandangan mereka. Gelapnya penutup ini begitu tebal sehingga mereka tidak melihat terangnya siang hari atau sebagain dari mereka tidak mau menerima sama sekali kenyataan seperti ini.

Jawaban terhadap Beberapa Pertanyaan

Telah muncul beberapa pertanyan seputar ayat Tathir, berikut ini beberapa contoh darinya beserta beberapa jawaban singkatnya:

Soal pertama, akhir kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat Tathir adalah kemaksuman Ahlul bait, artinya Ali, Fatimah, Hasan dan Husain dan Rasulullah sendiri adalah pribadi-pribadi yang terjaga dari dosa dan kesalahan, akan tetapi apa kaitan dan hubungan ayat ini dengan masalah wilayah dan imamah?

Dengan kata lain pembahasan kita berkaitan dengan ayat-ayat yang menunujukkan wilayah dan imamah Amirul mukminin Ali a.s. dan ayat di atas tidak ada hubungannya dengan hal wilayah, hanya kemaksuman beliau saja yang dapat dibuktikan dengannya. Lalu mengapa kita berdalil dengan ayat ini untuk masalah wilayah beliau?

Jawab: jika masalah Ishmah untuk Ahlul biat telah dibuktikan, maka secara tidak langsung masalah imamah mereka juga telah dibuktikan, karena sebagimana telah dijelaskan imam adalah sosok yang ditaati tanpa syarat dan kaid, dan seseorang yang semacam ini adalah seorang yang maksum. Dari sisi lain, jika imam harus dilantik atau dipilih, maka selagiada orang yang maksum tidak perlu kita pergi kepada orang yang tidak maksum.

Allah Swt dalam ayat 124 surah Al-Baqarah saat mendengar doa Ibrahim a.s. yang sudah dilantik sebagai seorang yang berdoa agar anak cucunya juga mendapat gelar agung ini, berfirman:

لا ینال عهدی الظالمین

makam (imamah-)Ku ini tidak akan sampai kepada orang-orang yang zalim.

Dengan demikian ishmah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari imamah dan barangsipa yang sebelum menerima makam ini berlumuran dengan dosa dan kesalahan tidak pantas untuk menjadi seorang imam dan pemimpin.

Pertanyaan kedua, kita menerima bahwa seorang imam harus maksum; akan tetapi apakah setiap orang yang maksum  harus menjadi imam? Bukankah sayyidah Zahra’ s.a. adalah sosok maksum, lalu mengapa beliau tidak menjadi seorang Imam?

Jawab: ishmah di kalangan wanita tidak melazimkan imamah, berbeda dengan kalangan laki-laki.

Pertanyaan ketiga: dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa perbedaan dhamir dalam ayat tathir dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya membuat khitab ayat ini bukan para isteri nabi, padahal perbedaan semacam ini juga terjadi padatempat lain di dalam al-Quran, seperti yang terdapat dalam ayat 73 surah Hud, yang menceritakan nabi Ibrahim menjadi sorang ayah di waktu masa tua. Allah berfirman:

قالُوا أَ تَعْجَبينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَ بَرَكاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَميدٌ مَجيدٌ

“Para malaikat itu berkata:” Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah?            ( Itu adalah ) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.”

Dalam ayat ini isteri nabi Ibrahim menjadi Mukhatab, hanya saja di sini digunakan dhamir mudzakkar, عَلَيْكُمْ?

Jawab: tujuan dari fiil (kata kerja) تَعْجَبينَ adalah isteri nabi Ibrahim saja, sedang عَلَيْكُمْ mengarah kepada seluruh anggota keluarga beliau, laki maupun perempuan, sedang ayat tathir sebagaimana telah dijelaskan tidak termasuk mukhatabnya ayat ini baik secara independen maupun di samping lima Ali aba.

Pertanyaan keempat: jika mukhatab ayat tathir hanya lima orang saja, lalu mengapa ayat ini diletakkan diantara ayat-ayat yang berkaitan dengan isteri-isteri nabi Saw?

Jawab: sebagaimana dijelaskan oleh Allamah Thaba’thabai dan ulama lain, seluruh ayat al-Quran tidak turun secara bersamaan, bahkan satu ayat sekalipun terkadang tidak turun sekaligus. Akan tetapi ayat-ayat itu turun sesuai keperluan dan peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, bisa jadi pada satu waktu kisah para isteri nabi terjadi sehingga turun ayat-ayat yang berkaitan dengan mereka dan setelah beberapa waktu, kisah Ashhab kisa’ dan permintaan nabi untuk penyucian mereka terjadi maka turunlahayat tathir. Dengan demikian, tidak pasti seluruh ayat al-Quran mempunyai ikatan khusus satu sama lain.

Kongklusinya, ayat tathir ini dapat digunakan untuk menetapkan kemaksuman lima orang Ali aba juga dapat digunakan untuk menetapkan kepemimpinan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.



[1] Biharul anwar, jilid 65, halaman 346.
[2] Qurthubi, dalam tafsir Al-Furqan, jilid 6, halaman 5264. Pendapat ini dinukil dari Zujaj.
[3] Nahjul balaghah, khutbah ketiga (Khutbah Syiqsyiqiyah).
[4] Syarah Nahjul balaghah, Ibnu Abil Hadid, jlid 6, halaman 225. (Sesuai penukilan Tarjamah wa Syarh Nahjil balaghah, jilid 1, halaman 403).
[5]At-Tafsirul Kabir, jilid 25, halaman 209.
[6] Al-Mizan, penerjemah, jilid 23 halaman 178.
[7]Shahih Muslim, jilid 4, halaman 1883, hadi ke-2424. (Sesuai penukilan kitab Feyam Quran; pesan Quran, jilid 9, halaman 143).
[8]Ihqaqul hak, jilid 2, halaman 503.
[9]Al-Mustadrak ‘ala Shahihain, jilid 2, halaman 416. (Sesuai penukilan kitab Ihqaqul hak, jilid 2, halaman 504).
[10]As-Sunanul Kubra, jilid 2 halaman 149.
[11]Ad-Durul Mantsur, jilid 5, halaman 198.
[12]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 10-92.
[13] Musnad Ahmad, jilid 1, halaman 330;  jilid 4, halaman 107 dan jilid 6, halaman 292. (Sesuai penukilan kitab Feyam Quran; pesan Quran, jilid 9, halaman 144).
[14] Tafsir Fakhr Razi, jilid 8, halaman 80.
[15] Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 24 dan 31.
[16]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman37 dan 38.
[17]Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 11-15.
[18] Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 28.
[19]Selama sembilan bulan juga dinukil dari Abu Said. Lihat Syawahid Tanzil, jilid 2, halaman 29.

Source: Quran-shia.org

4 Responses to Ayat Tathir, Dalil Kesucian Ahlulbayt As

  1. Anonim says:

    Wah,penjelasan yang gawat. Betul-betul mencabik-cabik Al Qur’an. kata perkata Al Qur’an yang disusun oleh Allah yang Maha Agung dipotong-potong, Al Qur’an dibuat berantakan susunannya. Penjelasan yang melecehkan Allah sebagai penyusun Al Qur’an. Kata-kata dalam ayat, ayat ayat dalam kelompok ayat, kelompok ayat – kelompok ayat dalam surah, surah-surah dalam AlQur’an tersusun sangat rapi membentuk susunan yang tak bisa diceraikan. Silahkan baca tulisan dibawah ini

    TAFSIR AL QUR’AN MERUPAKAN SATU KESATUAN YANG UTUH
    (Mudah-mudahan tulisan ini bermamfaat bagi mereka yang ingin mengali makna AQ secara langsung. Mohon maaf diperlukan kesabaran dan ketelitian dalam memahami tulisan ini)

    AQ ditujukan untuk seluruh umat manusia yang tidak dibatasi waktu. Allah telah sangat sempurna menkreasi AQ. AQ dulunya diturunkan kepada Suku Quraisy pada abad ketujuh Masehi, sehingga makna AQ dipahami bagaimana rasulnya memahaminya. Perubahan situasi dan kondisi masyarakat menyebabkan AQ harus mengalami transformasi makna. Transformasi makna menjadi makna-makna modernitas yang dapat diterima oleh umat manusia sekarang. Adanya dua posisi AQ: “satu kaki” di masa lalu dan “satu kaki” di masa sekarang dan yang akan datang menyebabkan transpormasi makna diperlukan, karena AQ tetaplah berisi kata-kata, kalimat-kalimat, dan ayat-ayat sederhana. Kata-kata yang digunakan berasal dari Bahasa Arab klasik, kata-kata yang dapat dimengerti untuk umat massa itu. Kata-kata dalam Al Qur’an disusun menjadi bahasa yang sederhana. Informasi-informasi atau petunjuk-petunjuk Al Qur’an menjadi petunjuk sederhana. Petunjuk sederhana sangat diperlukan agar apa yang diinginkan Allah di AQ dapat diterima “bulat” oleh pengunanya (umat Islam) sesuai yang diinginkan Allah.
    Ayat-ayat Al Qur’an seharusnya ditafsir berdasarkan Al Qur’an itu sendiri, dengan kekuatan strukturnya. Konteks makna ayat yang dikaitkan dalam keseluruhan Al Qur’an, minimal satu surah, menjadi penting karena konteks seperti inilah yang diinginkan Al Qur’an. Makna satu ayat tidak terlepas dari makna kumpulan ayat (membentuk satu topik), surah, dan Al Faatihah. Pola tafsir yang demikian menghilangkan pertentangan antar ayat. Pengungkapan tafsir satu ayat menjadi pengungkapan satu pernyataan yang tidak bisa dilepaskan dengan makna Al Qur’an secara keseluruhan.
    Makna tafsir ayat-ayat yang dikaitkan dengan keseluruhan Al Qur’an menghilangkan beberapa pernyataan kontradiktif ayat-ayat di Al Qur’an. Kontradiksi-kontrakdiksi yang muncul jika ayat-ayat dilepas dari struktur Al Qur’an, bukan melemahkan makna tetapi menguatkannya. Al Qur’an memaparkan spektrum makna yang sepertinya berbeda tetapi sesungguhnya sangat berhubungan. Beberapa kontradiksi tersebut diuraikan di bawah ini.
    Pertama: Beberapa ayat dinyatakan berulang-ulang (kelompok pertama) yang sepintas lalu terlihat mubazir sementara beberapa ayat sepertinya tidak berhubungan satu sama lain atau berhubungan sangat lemah (kelompok kedua). Kelompok kedua yang mendominasi Al Qur’an menyajikan ayat-ayat yang meloncat-loncat yang “sepertinya” inkoherent (flight of idea) berlawanan dengan kelompok pertama yang “sepertinya” mubazir. Kontradiksinya berulang-ulang dan inkoherent (flight of idea). Berulang-ulangnya ayat-ayat Al Qur’an tidak terlepas dari kemahapengasihan dan kemahapenyayangannya Allah sebagai manipestasi ayat pertama dan ketiga Al Faatihah. Ayat yang diulang-ulang menunjukkan pentingnya pernyataan yang diulang tersebut. Ayat-ayat yang diulang menunjukkan “keinginan kuat” Pencipta terhadap hambanya. Pengulangan sangat diperlukan, untuk memperjelas/mempertegas/membedakan “perihal” yang penting. Banyak ajaran, bahkan di aliran besarpun, yang dianggap pokok-pokok agama berdasarkan ayat-ayat yang dikaburkan, bahkan tidak ada ayatnya sama sekali. Hal ini sangat kontradiktif dengan Al Qur’an, dimana seharusnya pernyataaan yang penting dinyatakan berulang-ulang.
    Loncatan topik pembicaan (flight of idea) baik dalam satu ayat (pada kalimat-kalimat yang menyusunnya) atau satu kelompok ayat ataupun beberapa kelompok ayat sangat diperlukan untuk membuat Al Qur’an menjadi padat. Kalimat penghubung antara kalimat-kalimat dalam satu ayat (bahkan kata-kata dalam satu kalimat, dalam hal ini tidak mengunakan kata yang membantu maksud kalimat), kalimat penghubung ayat-ayat, kalimat/ayat penghubung dua sub topik kelompok ayat tidak diperlukan untuk memperjelas makna sehingga dapat dihilangkan tanpa mengubah makna. Sekelompok kata (kalimat) penghubung bahkan dapat dihilangkan tanpa mengubah makna ayat. Adanya makna yang mengarah ke pengertian tunggal (sedikit bervariasi) dari ayat-ayat Al Qur’an didapatkan setelah melihat keseluruhan teks Al Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh dengan struktur yang sangat rapi. Beberapa contoh ayat-ayat tersebut adalah QS 21: 30 : “Apakah orang-orang kafir tidak memperhatikan bahwa dahulunya bumi dan langit menjadi satu yang padu (fusi) dan dari air Kami jadikan semua makluk hidup”. Kemajuan ilmu pengetahuan memberitahukan bahwa adanya atom primordial (satu yang padu/fusi) merupakan cikal bakal alam semesta lebih menafsir ayat tersebut. “Dari air Kami jadikan semua makluk hidup” ditafsir oleh orang jaman dahulu dengan pengamatan adanya unsur air pada setiap makhluk hidup. Teori terjadinya pembentukan protein awal terjadi di lautan. Protein merupakan cikal bakal zat hidup. Tafsir tersebut lebih sesuai dengan konteks ayat QS 21: 30, karena sebelumnya ayat tersebut bercerita tentang asal usul alam semesta yang berarti asal usul makhluk hidup. QS 4:3 : Dan jika kamu-kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu-kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu-kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Ayat ini harus dimaknai susunan kata-katanya dalam artian maknanya jangan dilepaskan persatuannya (perkalimat). Ayat QS 4: 3 inipun jangan dilepas dari ayat QS 4: 2. Sangat jelas solusi dari QS 4: 2, salah satunya menikahinya. Jika dengan menikahinya masih takut berbuat tidak adil maka kawinilah wanita lain. Lagi-lagi ayat ini menjadi sangat jelas nikah lebih dari satu atas dasar istri pertama adalah perempuan yatim. Kalimat selanjutnya memperjelas kehendak Allah, yakni nikah hanya dengan satu orang. Budak yang kamu miliki memperjelas “pembatasan berpoligami” terjadi saat perempuan yatim belum meiliki sistem perlindungan yang kuat dan masih ada perbudakan. Flight of idea dari struktur Al Qur’an menunjukkan antar kalimat sangat berhubungan. Flight of idea bahkan (sepertinya) inkoherent membuat ayat-ayat AQ sangat padat, membentuk cerita/berita/petunjuk yang sangat jelas. Ayat-ayat AQ yang sangat jelas ini, sangat sayang telah dicabik-cabik oleh penjelasan selain AQ (bahkan oleh hadist sekalipun). Ayat-ayat AQ yang sangat jelas ini, sangat sayang telah dikaburkan oleh pendapat-pendapat selain AQ (termasuk oleh para penafsir konvensional).
    Kedua: Ayat-ayat yang sepertinya memiliki makna yang bertentangan. Kontradiksi ini berupa satu/kelompok ayat mengikat atau membebaskan ayat/kelompok ayat lainnya. Satu ayat atau kelompok ayat sangat bersifat kaku terhadap satu topik sementara satu ayat/kelompok ayat dapat terlihat bebas/”liar” terhadap topik yang sama. Kedua ayat/kelompok ayat tersebut disatukan dengan tema surah atau dihubungkan dengan Al Faatihah. Tidak ada yang bertentangan dalam Al Qur’an. Pernyataan-pernyataan kontras dalam AQ, dari ektrim “kiri” (ayat-ayat terlihat kaku) ke ektrim “kanan” (ayat-ayat terlihat bebas), membebaskan tafsir sehingga AQ menginformasi batas-batas tafsir yang harus dijalankan. Contoh ayat-ayat ini adalah ayat menundukkan pandangan dan jangan dekati zina yang tertafsir oleh penafsir konvensional sebagai konsep taaruf yang kaku dengan kisah pertemuan Musa dengan calon istrinya yang membebaskan tafsir taaruf. Konsep taaruf menjadi jelas. Konsep taaruf yang demikian dapat lebih menguatkan ikatan perkawinan monogami.
    Ketiga: Pernyataan Al Qur’an, baik dalam satu ayat atau antar ayat yang berurutan dapat terlihat satu pernyataan yang bersifat umum beralih ke pernyataan selanjutnya yang bersifat khusus atau sebaliknya. Satu pernyataan postulat yang berlaku universal selanjutnya ke contoh kasus, atau sebaliknya. Kalimat yang menghubungkan antara pernyataan pertama ke pernyataan kedua tidak diperlukan, agar Al Qur’an menjadi padat. Contohnya: Penyebutan istri-istri nabi pada QS 33: 33 sebagai pernyataan khusus dibawa untuk diikutkan dalam pernyataan umum, yang berarti istri-istri nabi termasuk juga bagian dari Ahlubait. Jadi Ahlulbait harus didifinisikan dengan mengikutkan istri-istri nabi yang disebutkan sebelumnya. Pernyataan QS 4: 129 “ketidakmampuan berlaku adil (ketika berpoligami) dari para lelaki sebagai pernyataan yang bersifat umum ditindaklanjuti dengan konsukuensi jika dilanggar pada QS 4: 130 “jika keduanya bercerai…” yang terjadi khusus pada satu pasangan pernikahan. Ayat QS 4: 129-130 mengisyaratkan Tuhan membuka pintu perceraian jika lelaki mencoba berpoligami. Sumpah nabi pada QS 66: 1 sebagai satu kejadian pada satu orang (khusus) dibebaskan dengan mengambil pernyatan umum (QS 66: 2) yakni membebaskan sumpah yang berlaku secara umum.
    Keempat: Penggunaan kata ganti orang yang berbeda-beda walaupun subjeknya sama. Pemakaian kata ganti orang dapat dipahami setelah mengetahui Al Qur’an mengunakan format dialog dan menghubungkannya dengan struktur/sistematika kuat Al Qur’an. Di Al Faatihah, pembaca Al Qur’an diwakilkan dengan kata kami (jamak) dan ini akan menjelma menjadi kamu-kamu (jamak) dan mereka di surah-surah lainnya. Nabi Muhammad sendiri, memiliki kedudukan yang unik di Al Qur’an. Nabi di Al Faatihah merupakan bagian dari kami, tetapi dapat terpisah karena ia merupakan “pembawa Al Qur’an” sehingga sebagai “pimpinan” kami. Karena itu penyebutan nabi di Al Qur’an adalah sebagai individu tunggal seperti kamu, dia, malahan aku. Ayat-ayat yang mengatur perkawinan selayaknya ditafsir dengan jelas dengan mengunakan kata ganti orang yang harus sesuai bahasa aslinya (Bahasa Arab). Pengunaan kata kamu (tunggal) dalam menafsir kata kamu-kamu (jamak), mengaburkan makna monogami Al Qur’an.
    Kelima: Kontradiksi penempatan peran nabi di AQ yang sangat bervariasi. Peran nabi dapat dilihat pada pengunaan kata ganti orang yang berbeda untuk nabi: bagian dari kami (di AF), aku, bagian dari kalian, dia, atau namanya sendiri menunjukkan bagaimana Allah memperlakukan nabi di AQ. Hal ini harus ditindak lanjuti oleh umatnya dengan: bagaimana posisi nabi (sunnah/hadistnya) sebagai petunjuk kehidupan. Menelaah posisi nabi sebagai engkau di AQ, sangat jelas bahwa tidak seluruh sunnah/hadist dapat diikuti. Mengunakan secara tepat kata ganti orang ini menghasilkan intrepretasi-intrepetasi yang betul-betul baru terhadap ayat-ayat AQ.
    Keenam: Kontradiksi aneh surah AF yang hanya terdiri 7 ayat yang mendahului surah-surah panjang di AQ. Kontradiksi pengunakan kata ganti orang di AF (sebagai pelaku) dan di AQ (sebagai orang yang diajak bicara/yang dibicarakan). Kontradiksi ini menyebabkan Al Faatihah yang ditaruh di awal AQ berperan penting. AQ tidak terlepas dari AF dan sebaliknya. Ayat pertama AF memiliki makna terluas dan sangat fundamental, sedangkan ayat ketujuh AF merupakan kisah dari langkah (ayat) pertama sampai keenam. Kisah memiliki kekuatan makna tersembunyi dalam menafsir Al Qur’an, yang selama ini terabaikan.
    Ketujuh: Kontradisi susunan teks AQ dengan turunnya ayat dan kontradiktif pengunaan kata-kata yang sederhana yang membangun makna yang “rumit” AQ. Kata-perkata ayat-ayat AQ seharusnya diartikan sederhana. Kata-kata AQ yang sederhana ini membangun keseluruhan AQ (jadi pengertian AQ dapat dipahami walaupun ia telah diterjemahkan ke berbagai bahasa). Kata-kata ini membangun kalimat-kalimat, ayat-ayat, surah-surah, dan AQ itu sendiri membentuk suatu struktur yang sangat kuat menghasilkan suatu sistematika yang unik. Sistematika ini tidak dapat dilihat oleh para penafsir konvensional karena mereka telah menafsir AQ sesuai dengan pendapat-pendapt terdahulu. Keterbatasan ilmu pengetahuan dan tehnologi serta keterikatan kuat dengan sunnah nabi menyebabkan sistematika kuat AQ tidak diketahui oleh mereka. Sistematika yang unik ini mengarah ke penafsiran baru AQ.
    Susunan AQ (yang membentuk sistematika unik AQ) berupa: 1. Pengunaan kata-kata sederhana pada ayat-ayat AQ. Kata-kata AQ hanya terdiri dari 77.490 kata yang dimergerti orang-orang Quraihsy abad ke-7, sehingga kata-katanya tidak diartikan rumit. Beberapa kata menjadi kata baru bagi orang-orang Quraishy, tetapi AQ akan menjelaskan arti kata itu sendiri. Kata-kata AQ berkaitan erat dengan konsep AQ secara keseluruhan. 2. Kata-kata dalam kalimat ayat (ayat tidak sama dengan kalimat, karena ayat bisa terdiri dari 1 kata, beberapa kata, 1 kalimat, dan beberapa kalimat) berhubungan sangat erat membentuk satu maksud, satu makna. Kata-kata dalam kalimat tidak boleh diartikan berbeda dengan maksud kalimat. 3. Kata-kata dalam kalimat dan kalimat-kalimat dalam satu ayat berhubungan sangat erat membentuk satu makna, tidak boleh dilepas dan dipereteli. 4. Ayat-ayat dalam satu surah sangat berhubungan, tidak boleh dipenggal maknanya. Tidak boleh satu ayat diartikan berlainan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. 5. Kelompok ayat-ayat yang membentuk suatu tema, tidak bisa dilepaskan dengan kelompok ayat-ayat sebelum dan sesudahnya sehingga makna ayat-ayat AQ akan terang benderang. 6. Surah merupakan satu kesatuan makna terkecil yang dapat dilepas. Sehingga satu ayat dalam surah tersebut jangan diintrepretasikan yang berlainan dengan maksud keseluruhan surah. 7. Tema surah dibentuk dari subtopik sentral surah dimana ada kata-kata yang menjadi judul surah. Tema subtopik sentral surah menghubungkan dengan tema-tema subtopik-subtopik lainnya sehingga makna surah menjadi kompak. 8. Sistem kontrol Al Faatihah (AF) berperan penting untuk meluruskan, menyaring, memvariasikan, menyempitkan, meluaskan makna-makna ayat yang terbentuk. Ada keterkaitan yang sangat erat antara AQ dengan AF. 9. Aplikasi kisah berperan penting untuk mengetahui makna ayat yang sesungguhnya. Kisah AQ merupakan aplikasi konsep ke dalam bentuk kisah kehidupan orang-orang yang berlaku abadi. 10. Aplikasi sunnah terhadap AQ. Kedudukan sunnah berperan vital setelah AQ. AQ yang sudah jelas (dengan menerapkan prinsip-prinsip nomor 1 sampai 9) teraplikasi dalam tindak tanduk nabi.
    Maka tafsir ayat-ayat AQ terikat kuat dengan keseluruhan Al Qur’an. Tafsir membentuk makna yang dapat berdiri sendiri. Tafsir dapat saja menapikkan adanya latar belakang lainnya, seperti asbabun nuzul, sunnah/hadist, pendapat ulama yang tidak berdasarkan Al Qur’an, dan lain-lain. Asbabun nuzul tidak selalu dapat menafsirkan ayat tertentu, karena satu ayat dapat memiliki beberapa asbabun nuzul dan terikat waktu dan situasi. Sunnah/ hadist harus dipakai sebagai contoh aplikasi Al Qur’an ke kehidupan nabi. Aplikasi Al Qur’an oleh Nabi Muhammad merupakan rujukan satu-satunya yang harus dicontoh.
    Nyatalah bahwa AQ dapat menjelaskan dirinya sendiri. Dan ini sangat sesuai dengan pernyataan-pernyataan AQ itu sendiri.

    JADI JANGANLAH MENAFSIR AYAT-AYAT AQ TERPOTONG-POTONG

  2. Anonim says:

    Point Ketiga: Pernyataan Al Qur’an, baik dalam satu ayat atau antar ayat yang berurutan dapat terlihat satu pernyataan yang bersifat umum beralih ke pernyataan selanjutnya yang bersifat khusus atau sebaliknya. Satu pernyataan postulat yang berlaku universal selanjutnya ke contoh kasus, atau sebaliknya. Kalimat yang menghubungkan antara pernyataan pertama ke pernyataan kedua tidak diperlukan, agar Al Qur’an menjadi padat. Contohnya: Penyebutan istri-istri nabi pada QS 33: 33 sebagai pernyataan khusus dibawa untuk diikutkan dalam pernyataan umum, yang berarti istri-istri nabi termasuk juga bagian dari Ahlubait. Jadi Ahlulbait harus didifinisikan dengan mengikutkan istri-istri nabi yang disebutkan sebelumnya. Pernyataan QS 4: 129 “ketidakmampuan berlaku adil (ketika berpoligami) dari para lelaki sebagai pernyataan yang bersifat umum ditindaklanjuti dengan konsukuensi jika dilanggar pada QS 4: 130 “jika keduanya bercerai…” yang terjadi khusus pada satu pasangan pernikahan. Ayat QS 4: 129-130 mengisyaratkan Tuhan membuka pintu perceraian jika lelaki mencoba berpoligami. Sumpah nabi pada QS 66: 1 sebagai satu kejadian pada satu orang (khusus) dibebaskan dengan mengambil pernyatan umum (QS 66: 2) yakni membebaskan sumpah yang berlaku secara umum.

    SANGAT JELAS BAHWA AYAT-AYAT AQ maknanya terikat dalam surah dan keseluruhan AQ. Jadi Allahlah yang berkehendak demikian. Jika ayat-ayat dipotong-potong seperti penjelasan di atas maka makna ayat menjadi liar: multi intrefretasi,bahkan dapat berbenturan dan saling bermusuhan. Dengan demikian,maka AQ menjadi biang bala dari kesemuannya itu. Jadi itu tidak benar.
    Kata-kata dalam ayat-ayat AQ seharusnyalah dikembalikan kepengertian masyarakat Qurasy abad ke-7 saat AQ diturunkan/dilahirkan. Jadi maknailah kata-kata AQ tersebut menjadi kata-kata sederhana dimana bahasa arab belum berkembang. memaknai kata-kata AQ dengan makna baru membuat makna menjadi menyimpang, makna menjadi lagi-lagi multitafsir.dengan demikian kita tidak bisa menyalahkan faham Akhmadiyah karena faham ini mengartikan lain kata-kata dalam ayat AQ.
    HAL YANG TERPENTING adalah hal-hal yang penting dan fundamental dalam AQ selalu diulang-ulang, sebagai manifestasi ayat pertama dan ketiga Al Faatihah. Jadi tidak mungkin hal-hal yang demikian tidak ditulis dalam AQ

    Jadi AQ dibangun oleh Allah dengan susunan yang unik sehingga membentuk sistematika yang kuat yang tak mungkin diobrak-abrik oleh umatNya. Pernyataan tulisan tersebut di atas adalah mengobrak-abrik susunan AQ. Berhatihatilah,jika ini dilakukan mungkinkah kita telah sama seperti umat-umat Allah terdahulu!!!

  3. Anonim says:

    FLIGHT OF IDEAS DALAM AYAT-AYAT AL QUR’AN

    Membaca AQ secara sepintas, sebagian-sebagian, membaca satu ayat tanpa melibatkan surah, mencari-cari ayat sebagai pembenaran, ayat dijelaskan oleh asbabun nuzul akan menghasilkan intrepretasi ayat-ayat AQ melompat-lompat idenya (Flight of ideas). Flight of ideas tidak hanya terjadi pada antar ayat, bahkan terjadi antar kalimat dalam ayat dan antar kata dalam kalimat.
    Sepintas selalu flight of ideas berlawanan dengan klaim ayat ini
    11:1] Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-AYATNYA DISUSUN DENGAN RAPI SERTA DIJELASKAN SECARA TERPERINCI
    Jadi sepertinya pernyataan bahwa AQ memiliki Flight of ideas adalah salah, tetapi faktanya memang ayat-ayat AQ memiliki Flight of ideas. Tinggal lagi: bagaimana caranya Allah menyusun ayat-ayat AQ yang sepertinya melompat-lompat menjadi memiliki susunan yang rapi malahan dengan klaim dijelaskan secara rinci?
    Menjawab ini harus dilakukan telaah pada ayat-ayat yang sepertinya memiliki flight of idea.
    Bagi yang awam hampir seluruh ayat-ayat AQ merupakan ayat-ayat Flight of ideas. Dan inilah yang sering dicukil oleh orang-orang yang memakai hadist sebagai penjelasan AQ. Bahkan non muslimpun memakai ini, misalnya AF 6: tunjukilah kami jalan yang lurus …. langsung disambung dengan pernyataan: ini jalanku …. (maaf, saya tidak menuruskan pernyataan ini)
    Jadi untuk memahami pernyataan AQ di atas (QS 11:1) tidak lain harus (dan inilah kenyataannya) menganggap ayat-ayat AQ merupakan kesatuan yang utuh dalam membangun sebuah surah. Jadi hanya dalam satu surah makna ayat-ayat AQ menjadi kuat dan tak berantakan serta tak terbantahkan. Inilah yang ditantang Allah kepada orang-orang yang meragukan AQ: buatlah satu surah
    2:23] Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar
    Hal ini menyebabkan dalam mengintrepretasi ayat-ayat AQ: kata-kata dalam kalimat, kalimat-kalimat dalam ayat, dan ayat-ayat dalam surah sangat berhubungan, JANGAN DILEPAS. Jika dilepas bearti mengabaikan pernyataan ayat QS 2:23 di atas.
    Jadi memang benar di AQ terdapat flight of ideas yang koheren bukan yang inkoheren (yang terakhir adalah salah satu ciri psikosis/gila/sakit jiwa terberat). Kenapa AQ disusun oleh Allah dengan sistem flight of ideas yang koheren?
    Tidak lain agar membuatnya padat. Dan ini berarti sesungguhnya AQ memiliki makna yang bersusun-susun padat dan menyatu. Jadi secara isi/volum AQ lebih kecil dari kitab-kitab suci lainnya, tetapi secara makna AQ lebih besar, bahkan terhadap hadist sekalipun.
    Sebab yang lainnya kenapa AQ dibuat dengan sistem flight of ideas yang koheren adalah:
    Adanya kendala penulisan bahasa tutur (saat kodefikasi bahasa tulis hanya terdiri dari huruf dan fullstop) ketika akan ditulis.
    Sangat pasti AQ diturunkan dalam bahasa tutur bukan bahasa tulis. Bahasa tutur lebih mengambarkan bahasa AQ dibandingkan bahasa lisan. Bahasa tutur adalah bahasa lisan yang diucapkan secara irama dialog, tetapi yang diajak dialog (pembaca AQ) hampir-hampir sebagai pendengar saja. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya mencari cara yang tepat untuk menulis bahasa tutur yang sedemikian saat tanda-tanda baca belum ada. (Perlu diketahui tanda-tanda baca AQ baru ditulis belakangan, bahkan untuk tanda-tanda koma, titik adalah tanda terakhir yang dikodefekasi dalam AQ, jauh setelah AQ menjadi mushaf: 100 tahun – 200 tahun kemudian?). Tanda baca yang ada bersamaan penurunan AQ adalah kata-kata penghubung yang ada dalam AQ, misalnya: dan, atau, sehingga, dll. Kata lainnya adalah kata seru: katakanlah, sesungguhnya, dll ataupun kata tanya, misalnya: tidakkah, apakah, dll. Untuk tanda titik dan koma tidak ada dalam bahasa tutur sehingga diperlukan strategi agar dapat diketahui adanya tanda-tanda ini.
    Strategi yang paling jitu adalah dengan melompat-lompatkan ide. Ide yang hampir selaras sebagai koma. Ide yang (sepertinya) tidak berhubungan sebagai titik, dll.
    Untuk memperjelas ini diberikan contoh satu-satu
    2:2] Kitab (Al Quraan) ini tidak ada keraguan PADANYA; PETUNJUK bagi mereka yang bertaqwa. Jadi pelompatan ide yang hampir selaras dari keraguan padanya ke petunjuk, sebagai koma.
    21:30] Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara KEDUANYA. DAN DARI AIR Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
    Pernyataan yang melompat jauh (tidak selaras) dari asal universal ke penciptaan makhluk hidup. Kalimat pertama menerangkan: bahwa kalimat kedua bercerita tentang asal muasal makhluk hidup. Jadi pelompatan ide tersebut sebagai titik.
    2:185] bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. … Kalimat pertama dan selanjutnya sangat berhubungan, walaupun ada lompatan ide yang tak selaras. Lompatan ide disini dapat sebagi titik. Kalimat awal mengkalim bahwa AQ adalah petunjuk dan penjelasan petunjuk serta klassifikasi petunjuk. Klaim awal ini untuk menjelaskan tentang puasa (di kalimat selanjutnya), salah satu yang sering didebatkan adalah permulaan bulan ramadan (jadi tidak seharusnya didebatkan lagi, karena petunjuk AQ sudah jelas berdasarkan perhitungan!).
    5:3] Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) ADALAH KEFASIKAN. PADA HARI INI orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi AGAMA BAGIMU. MAKA BARANG siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
    Lopatan ide bolak balik adalah sebagai titik.
    QS 5:3 terjadi peralihan bolak balik pernyataan. Dari pernyataan khusus mengenai pengharaman makanan dan perbuatan fasik yang kesempurnaan pelarangan ini membuat orang kafir berputus asa, beralih kepernyataan umum tentang kesempurnaan agama Islam (yang pada hari itu telah ditetapkan, jadi jauh sebelum nabi wafat) beralih lagi ke pernyataan khusus tentang makanan lagi sehingga terlihat kesempurnaan Islam: Islam yang tidak kaku dalam masalah makanan.
    33:33] dan hendaklah kalian (istri-istri nabi) tetap di rumah kalian dan janganlah kalian (istri-istri nabi) berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian (para lelaki + wanita), hai ahlul bait dan membersihkan kalian (para lelaki + wanita) sebersih-bersihnya.
    Ada lompatan ide dari kalian (istri-istri nabi) ke kalian (para lelaki + wanita). Lopatan ide ini sebagai titik. Sistematika AQ mengharuskan ayat dilihat dalam satu surah menyebabkan kalimat dalam ayat-ayat ini berhubungan. Ada banyak hubungan antar kalimat ataupun antar ayat dimana salah satunya adalah hubungan peralihan dari pernyataan umum ke pernyataan khusus atau sebaliknya. Jadi pernyataan khusus, yakni istri-istri nabi, di bawa ke pernyataan umum (para lelaki + wanita). Tidak ada yang salah kalimat yang sedemikian dalam AQ. Banyak ayat-ayat AQ memakai formula ini.
    Lihat lagi ayat ini dan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Ayat ini (QS 33:33) berada pada alur cerita yang sama ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, tidak terpenggal. Allah memerintahkan kepada para istri nabi suatu kewajiban agar dosa mereka hilang. Karena AQ seringkali memuat banyak pernyataan pada satu pernyataan, maka berlaku juga hal yang demikian (menghilangkan dosa dari kalian para lelaki + wanita, hai ahlul bait dan membersihkan kalian para lelaki + wanita sebersih-bersihnya) terhadap anggota keluarga nabi yang lain.
    Jadi para istri nabi adalah sebagai ahlul bait pemeran utama yang dibicarakan pada ayat ini, sementara anggota keluarga nabi yang lain sebagai pemeran tambahan.
    Ahlul bait secara harfiah adalah ahli rumah. AQ dibangun dengan bahasa arab yang sederhana sehingga mengikutkan istri-istri nabi sebagai anggota ahlul bait dapat dimengerti. Tidak mengikutkan istri-istri nabi sebagai ahlul bait dalam pernyataan tersebut, dapat dikemukakan dengan kata bahasa arab lainnya yang lebih tepat dan tidak sepantasnya kalimat tersebut disambungkan pada QS 33:33. Meletakkan ditempat yang lain mungkin lebih elok.
    Banyak periwayatan hadist nabi yang menjelaskan QS 33:33: adalah Ali, Fatimah, Hasan dan Husin. Kenapa ada pertentangan antara AQ (yang ditinjau dari sistematikanya) dan hadist?. Beberapa alasannya adalah:
    1. AQ sering kali mengenapi/menambah keterangan hadist, dalam hal ini menambah anggota Ahlul bait. Alasan inilah yang paling logis dalam menjelasakan QS 33:33 dengan hadist
    2. Adanya distorsi hadist. Hadist ini walaupun banyak diriwayatkan oleh beberapa sumber, tapi sumber utamanya adalah Ummu Salamah (salah satu istri nabi) (juga Aisyah?). Kenapa orang-orang yang terlibat di dalamnya (Ali, Fatimah, Hasan dan Husin) tidak juga meriwayatkan kisah ini?
    Ayat AQ jika dilepaskan dari sistematikanya menjadi flight of ideas yang inkoherent. Jika sistem ini yang dipakai dalam menjelaskan AQ maka klaim ini, bisa jadi benar:
    …, dalam bahasa arab quran menggunakan kata ganti orang kedua jamak khusus perempuan (isteri-isteri nabi saw) kemudian diakhiri dengan tanda baca jim yang artinya titik, full stop, ganti cerita, baru di mulai innama … anKUMu rijsa ahlal bait, quran menggunakan kata ganti orang kedua jamak (ada laki-laki dan perempuan didalamnya, jadi pasti bukan isteri-isteri nabi saw), jadi dari sisi bahasa arab, jelas ahlulbait disini bukan isteri-isteri nabi saw. Kalau boleh ditambah dengan riwayat dari uumu salamah tentang hadist Kisa’ maka lengkaplah antara sign and symptomnya dan tegaklah diagnosis siapa sebenarnya ahlulbait itu.

    Kesimpulan tulisan ini adalah menghubungkan antar kata, antar kalimat, dan antar ayat dalam satu surah menyebabkan adanya sistematika flight of ideas yang koherent dari ayat-ayat AQ. Membuat AQ menjadi padat dan berisi bayak kebenaran walaupun ia tersusun dari kata-kata sederhana bahasa arab abad ketujuh, dimana saat itu belum mengenal tanda baca yang lengkap.
    Umat Islam harus bersyukur dengan adanya mushaf usmani yang tetap terjaga, yang mengingatkan kepada kita tentang sederhananya kata-kata dalam AQ. Kata-kata sederhana tetapi membentuk banyak petunjuk yang lengkap lagi jelas.

    • Islamkaffah. says:

      Korelasi dan relevansi atas ulasan anda (anonymouse) untuk tulisan diatas ini apa ya?

Tinggalkan Komentar