Dialog Sayyidah Fatimah as dan Abu Bakar: Mengenai Kebenaran Hadis Politik

Dialog Sayyidah Fatimah as dan Abu Bakar: Mengenai Kebenaran Hadis Politik

ya-fatimah-zahraMelihat porsi pembahasan tanah Fadak dalam khotbah Sayyidah Fathimah as bila dibandingkan dengan keseluruhan khotbah yang cukup panjang itu, dapat diamati bahwa tujuan Sayyidah Fathimah as lebih mulia dari sekedar yang dibayangkan oleh sebagian orang.

Mereka menganggap Sayyidah Fathimah as menuntut tanah Fadak karena tidak beliau berbeda dengan orang lain yang juga begitu menitikberatkan masalah materi.

Bila tujuan Sayyidah Zahra as adalah sekadar memenuhi kebutuhan materi sekalipun dari jalan halal karena itu adalah miliknya, maka masalah Fadak akan menyita sebagian besar dari khotbah itu.

Peristiwa Fadak banyak dianalisa oleh ahli sejarah. Beragam buku ditulis untuk menetapkan bahwa tanah Fadak milik Rasulullah saw dan telah diwariskan kepada anaknya Fathimah al-Zahra as.

Dimulai dari analisa teks, sejarah, sosial, ekonomi sampai politik dapat ditemukan dalam buku-buku itu. Ini menunjukkan betapa pentingnya masalah Fadak bagi Syiah.

Namun, apakah sesungguhnya demikian?

Menilik khotbah Sayyidah Fathimah al-Zahra as, ternyata dari keseluruhan khotbahnya tidak banyak menyinggung masalah Fadak. Terutama bila Abu Bakar, khalifah waktu itu, tidak menyela khotbah Sayyidah Fathimah as dan membawakan argumentasi mengapa ia mengambil Fadak dari tangan Sayyidah Fathimah as, maka khotbah tentang tanah FAdak semakin sedikit. Di samping itu, masalah Fadak dibawakan oleh Sayyidah Zahra pada bagian-bagian akhir dari khotbahnya.

Untuk lebih jelasnya apa sebenarnya yang terjadi dalam dialog keduanya, perlu untuk mengkaji kembali khotbah Sayyidah Fathimah al-Zahra as. Hal ini akan memperjelas apa sebenarnya yang terjadi antara keduanya.

Sanad khotbah
Khotbah Sayyidah Fathimah as merupakan salah satu khotbah yang dikenal oleh ulama Syiah dan Ahli Sunah. Mereka meriwayatkan khotbah Sayyidah Zahra as ini dengan sanad yang dapat dipercaya. Bagi Syiah, khotbah ini diriwayatkan dari berbagai sanad yang sampai kepada para Imam as atau dari Sayyidah Zainab as anak Imam Ali bin AbiThalib as. Sekalipun ini adalah khotbah, namun bagi Syiah menjadi sandaran dan dalil.

Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari dalam bukunya “Saqifah dan Fadak” menukil sanad-sanad khotbah Sayyidah Fathiman as. Ibnu Abi al-Hadid dalam Syarah Nahjul Balaghahnya menyebutkan empat jalur sanad yang diriwayatkan oleh al-Jauhari:

1. Al-Jauhari dari Muhammad bin Zakaria dari Ja’far bin Muhammad bin Imarah dari ayahnya dari HAsan bin Saleh bin Hayy dari dua orang Ahlul Bait Bani Hasyim dari Zainab binti ali bin Abi Thalib as dari ibunya Sayyidah Fathimah as.

2. Al-Jauhari dari Ja’far bin Muhammad bin Imarah dari ayahnya dari Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husein as.

3. Al-Jauhari dari Utsman bin Imran al-Faji’i dari Nail bin Najih dari Umar bin Syimr dari Kabir Ja’fi dari Abu Ja;far Muhammad bin Ali (Imam Baqir as).

4. Al-Jauhari dari Ahmad bin Muhammad bin Yazid dari Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan sebutan Abdullah al-Mahdh bin Fathimah binti al-Husein dan ibnu al-Hasan al-Mutsanna.

Ali bin Isa al-Irbil salah seorang ulama Syiah menukil khotbah ini dari buku “Saqifah dan Fadak” milik Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari. Ia menyebutkan, “Saya menukil khotbah ini dari buku Saqifah dan Fadak karangan Ahmad bin Abdul Aziz al-Jauhari. Sebuah buku dari naskah kuno yang telah dibaca dan di tashih oleh penulis pada tahun 322 hijriah dengan sanad yang berbeda-beda”.[1]

Mas’udi dalam bukunya Muruj al-Dzahab[2] mengisyaratkan mengenai khotbah ini.

Abu al-Fadhl Ahmad bin Abi Thahir (lahir 204 H) ulama yang hidup pada zaman Ma’mun khalifah Bani Abbas dalam bukunya Balaghat al-Nisa’ meriwayatkan khotbah ini dari beberapa jalur:

1. Perawi mengatakan, “Aku berada di sisi Abu al-Hasan Zaid bin Ali bin al-Husein as. Pada waktu itu aku sedang berdialog dengan Abu Bakar Mauqi’i tentang masalah Sayyidah Fathimah as dan bagaimana Fadak diambil darinya. Aku berkata, “Kebanyakan masyarakat punya pendapat tentang khotbah ini. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa khotbah ini milik Abu al-‘Anina dan bukan milik Sayyidah Fathimah as. Zaid menjawab, “Saya sendiri melihat tokoh-tokoh dari keluarga Abu Thalib yang menukil khotbah ini dari ayah-ayah mereka. Khotbah ini juga saya dapatkan dari ayah saya Ali bin al-Husein as. Lebih dari itu, tokoh-tokoh Syiah meriwayatkan khotbahini dan mengejarkannya sebelum kakek Abu al-‘Aina lahir ke dunia.

2. Khotbah ini dinukil oleh Hasan bin Alawan dari Athiyah al-Aufi dari Abdullah bin al-Hasan dari ayahnya.

3. Ja’far bin Muhammad berada di Mesir. Suatu hari aku melihatnya di Rafiqah dan berkata, “Ayah saya meriwayatkan hadis kepada saya dan berkata, “Musa bin Isa mengabarkan kepada kami dari Ubaidillah bin Yunus dari Ja’far al-Ahmar dari Zaid bin Ali bin al-Husein as dari bibinya Sayyidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib as meriwayatkan khotbah ini.

Abu al-Fadhl Ahmad bin Abi Thahir berkata, “Semua hadis ini saya lihat berada pada Abu Haffan.[3]

Tuntutan dan argumentasi Sayyidah Fathimah as
Untuk mengetahui secara detil apa sebenarnya yang terjadi dalam khotbah dan dialog antara Sayyidah Fathimah as dengan Abu Bakar sangat perlu untuk melihat langsung teks khotbah itu.[4]

Pada salah satu bagian dari khotbahnya Sayyidah Fathimah as menuntut haknya atas tanah Fadak:

Saat ini kalian menganggap bahwa kami tidak punya warisan!?

Apakah mereka menginginkan hukum jahiliah, padahal hukum mana yang lebih dari hukum Allah bagi mereka yang beriman.

Apakah mereka tidak tahu!?

Ya, kalian mengetahui bahwa aku adalah putri Nabi. Pengetahuan kalian bak sinar mentari, jelas.

Wahai kaum muslimin! Apakah pantas aku menjadi pecundang atas warisan ayahku!?

Wahai anak Abu Quhafah! Apakah ada dalam al-Quran ayat yang menyebutkan bahwa engkau mewarisi harta ayahmu, sementara aku tidak mewarisi harta ayahku!? Engkau telah membawa tuduhan yang aneh!

Apakah kalian secara sengaja meninggalkan al-Quran dan meletakkannya di punggung kalian ketika al-Quran mengatakan: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud”[5].

Al-Quran menukil cerita Yahya bin Zakaria ketika berkata: “Maka anugerahilah Aku dari sisi Engkau seorang putera yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub”.[6]

Dan Allah berfirman: “orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)di dalam Kitab Allah”.[7]

Dan allah berfirman: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.[8]

Dan Allah berfirman: “berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.[9]

Dan kalian menganggap aku tidak mewarisi sesuatu dari harta ayahku?

Apakah ada ayat yang turun kepada kalian yang mengecualikan ayahku?

Ataukah kalian akan mengatakan bahwa keduanya (aku dan ayahku) menganut agama yang berbeda sehingga tidak mewarisi?

Bukankah aku dan ayahku berasal dari agama yang satu?

Ataukah kalian merasa lebih tahu tentang al-Quran dari ayahku dan anak pamanku (Imam Ali bin Abi Thalib)?

Bila memang kalian mengklaim demikian, maka ambil dan rampaslah warisanku yang terlihat bak kendaraan yang telah siap sedia!? Tapi, ketahuilah! Ia akan menghadapimu di hari kiamat.

Sesunguhnya, sebaik-baik hukum adalah hukum Allah, sebaik-baik pemimpin adalah Muhammad dan sebaik-baik pengingat adalah hari kiamat.

Ketika hari kiamat tiba, orang-orang yang batil akan mengalami kerugian. Pada waktu itu penyesalan tidak lagi bermanfaat.

Setiap berita ada tempatnya dan kalian akan tahu siapa yang diazab sehingga hina dan senantiasa ia mendapat siksaan yang pedih!

Jawaban Abu Bakar Setelah Sayyidah Fathimah as mengajukan tuntutan dan mengargumentasikan haknya, beliau kemudian menatap orang-orang Anshar dan mengingatkan siapa mereka dan betapa pentingnya peran mereka dalam menjaga Islam. Namun, nilai dan kesempurnaan sesuatu akan dinilai pada akhirnya. Cinta terhadap kedudukan membuat mereka lupa menolong dan membantu putri Rasulullah saw.

Dalam khotbahnya, Sayyidah Fathimah as menyebutkan bahwa kalian punya potensi untuk menghadapi penguasa yang tidak sah dan zalim. Namun, ketika mereka tidak bangkit Sayyidah Zahra as tidak menerima alasan mereka. Upaya Sayyidah Zahra as untuk membangkitkan semangat kaum Anshar membela kebenaran kemudian diputus oleh Abu Bakar yang menjabat sebagai khalifah waktu itu dengan jawabannya.

Abu Bakar menjawab tuntutan dan argumentasi yang disampaikan oleh Sayyidah Fathimah as dengan ucapannya:

Wahai putri Rasulullah saw! Ayahmu seorang yang lembut, pengasih dan dermawan atas orang-orang mukmin, sementara itu bila menghadapi orang-orang kafir ia sangat keras.

Bila dilihat dari sisi hubungan kekeluargaan, ia adalah ayahmu dan saudara ayahmu. Sementara tidak ada orang lain yang sepertimu.

Kami melihat bagaimana Nabi begitu memperhatikan suamimu lebih dari yang lain. Dalam setiap pekerjaan besar, suamimu pasti menjadi penolong Nabi. Hanya orang yang selamat saja yang mencintai kalian dan hanya orang celaka saja yang membenci kalian. Kalian adalah Itrah Rasulullah yang baik.

Kalian adalah penunjuk dan penuntun ke arah kebaikan dan surga.

Dan engkau adalah wanita terbaik dan putri terbaik dari para Nabi.

Engkau benar dalam ucapanmu dan akal dan pemahamanmu lebih cerdas dari yang lain.

Tidak ada yang dapat menghalangi hak Anda dan kebenaranmu tidak bisa ditutup-tutupi.

Demi allah! Aku tidak melanggar pendapat Rasulullah saw dan aku tidak berbuat kecuali dengan seizinnya. Seorang pemimpin tidak akan membohongi rakyatnya.

Dalam masalah ini aku menjadikan Allah sebagai saksi dan cukuplah Allah sebagai saksi.

Aku mendengar sendiri dari Rasulullah saw bersabda: “Kami para Nabi tidak mewariskan emas dan perak tidak juga rumah dan tanah untuk bercocok tanam. Kami hanya mewariskan al-Quran, al-Hikmah, al-Ilmu dan al-Nubuwah. Apa saja yang tertinggal dari kami, maka itu menjadi hak milik pemimpin setelah kami. Dan apa yang menjadi maslahat itu yang bakal diputuskan olehnya.

Apa yang engkau tuntut dari tanah Fadak, itu akan kami pakai untuk menyiapkan kuda dan senjata bagi para pejuang Islam untuk menghadapi orang-orang kafir dan orang-orang jahat.

Masalah ini tidak aku putuskan sendiri, tetapi lewat kesepakatan seluruh kaum muslimin aku melakukan itu.

Ini kondisi dan apa yang saya miliki menjadi milik engkau.

Apa yang bisa saya lakukan akan saya lakukan dan saya tidak menyimpan apapun di hadapan engkau.

Engkau adalah panutan umat ayahmu dan pohon yang memiliki akar yang baik bagi keturunanmu.

Keutamaan yang engkau miliki tidak dapat dipungkiri oleh seorang pun.

Hak-hak engkau tidak akan dicampakkan begitu saja; baik masalah penting atau tidak.

Apa yang engkau perintahkan terkait dengan diri saya akan saya lakukan.

Apakah engkau merasa layak bahwa dalam masalah ini saya menentang aturan ayahmu?

Jawaban balik Sayyidah Fathimah as
Setelah mendengar jawaban dari Abu Bakar mengenai tuntutannya atas tanah Fadak, Sayyidah Fathimah as menjawab:

Subhanallah! Rasulullah saw tidak pernah memalingkan wajahnya dari al-Quran dan tidak pernah menentang hukum-hukum yang ada di dalamnya.

Nabi senantiasa mengikuti al-Quran dan surat-suratnya.

Apakah engkau mulai mengeluarkan tipu dayamu dengan berbohong atas namanya mencoba mencari alasan atas perbuatanmu?

Tipu daya ini sama persis seperti yang dilakukan terhadapnya ketika Nabi masih hidup.

Ini adalah al-Quran, Kitab Allah yang menjadi juru adil, pemutus perkara dan berbicara atas nama kebenaran. Al-Quran mengatakan: “seorang putra yang akan mewarisi Aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub” dan “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.

Allah telah membagi bagian para ahli waris sesuai dengan bagiannya secara gamblang sehingga tidak ada orang mencari-cari alasan di kemudian hari. Semestinya engkau mengamalkan yang seperti ini.

Namun engkau melakukan sesuatu yang lain karena hawa nafsu dan bisikan setan.

Dalam kondisi yang demikian, pilihan terbaik adalah bersabar karena kesabaran itu indah dan Allah adalah penolong dari apa yang kalian gambarkan.

Penjelasan terakhir Abu Bakar
Sanggahan terakhir Sayyidah Fathimah as membuat Abu Bakar tidak lagi menyangkal perbuatannya dengan hadis yang dipakai sebelumnya setelah dengan cerdik Sayyidah Fathimah as menjelaskan premis mayor bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah menentang hukum-hukum yang ada dalam al-Quran. Setelah dihadapkan dengan ayat-ayat yang disebut itu, Abu Bakar menjawab:

Maha benar Allah, benar apa yang disabdakan Rasulullah dan benar juga apa yang diucapkan oleh putri Rasulullah saw.

Engkau adalah tambang kebijakan, pusat hidayah dan rahmat, tiang agama dan sumber kebenaran.

Aku tidak mengatakan apa yang engkau katakan adalah salah dan tidak mengingkari khotbahmu, namun mereka kaum muslimin sebagai juri yang menilai antara saya dengan engkau. Mereka memilih saya sebagai khalifah dan apa yang saya raih ini berkat kesepakatan mereka tanpa ada paksaan dan kesombongan dari diriku. Dalam hal ini mereka semua menjadi saksi.

Analisa argumentasi Abu Bakar:

Bila dilihat secara teliti, sebenarnya Abu Bakar telah mengetahui bahwa bagaimana sebelumnya Sayyidah Fathimah as telah membawakan ayat-ayat yang menunjukkan bagaimana para Nabi mewariskan hartanya kepada anaknya. Jadi, hal ini sudah dipahami secara baik oleh Abu Bakar. Namun, untuk menjustifikasi perbuatannya ia perlu sebuah landasan berpijak yang kokoh.

Tidak cukup hanya dengan alasan sebagai penguasa waktu itu, sebagai khalifah pengganti Rasulullah saw, ia akan memanfaatkan tanah milik Rasulullah saw yang diwariskan kepada anaknya untuk mendanai angkatan perang. Artinya, menyita tanah Fadak milik putri Rasulullah saw tidak cukup dengan menyampaikan alasan kebijakan politik, tapi harus dengan bersandar pada ayat al-Quran atau sabda Nabi.

Sebagaimana telah disebutkan dalam khotbahnya, Sayyidah Fathimah as menyebutkan bahwa yang paling mengetahui al-Quran adalah Nabi Muhammad saw dan Imam Ali bin Abi Thalib as. Selain itu, Sayyidah Fatahimah as membacakan beberapa ayat al-Quran untuk memenangkan tuntutannya.

Di sini Abu Bakar terpaksa memakai hadis yang disebutnya berasal dari Rasulullah saw. Hadis ini dipakainya untuk mematahkan klaim Sayyidah Fathimah as dan setelah itu baru ia menyebutkan alasan sebenarnya mengapa ia menyita tanah itu. Abu Bakar melihat bahwa tanah sebesar itu dapat mendanai angkatan perang untuk menghadapi musuh-musuh Islam

Sebenarnya, alasan itu juga yang dipakai untuk menyita paksa tanah Fadak dari tangan Sayyidah Fathimah as. Bila tanah itu tidak disita, maka kemungkinan besar pengikut Imam Ali bin Abi Thalib as dapat melakukan perlawanan fisik bahkan bersenjata melawannya. Bila tanah itu dapat dipakai untuk mendanai angkatan bersenjatanya, maka hal yang sama dapat dipergunakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as. Itulah mengapa ketika Sayyidah Zahra as tengah berbicara mengenai masalah Fadak, Abu Bakar tidak melakukan protes dengan menjawab argumentasi yang disampaikan oleh Sayyidah Fathimah as. Tapi, ketika pembicaraan telah berpindah mengenai kaum Anshar, di mana Sayyidah Zahra as menjelaskan dengan terperinci posisi dan peran mereka dalam Islam dan setelah itu mengingatkan mereka dengan pesan-pesan Rasulullah saw mengenai Ahlul Baitnya serta apa akibatnya orang yang tahu kebenaran tapi tidak membela kebenaran, Abu Bakar lantas menjawab mengenai masalah Fadak yang telah disebutkan sebelumnya. Jelas, bila hal ini dibiarkan berlangsung, maka kemungkinan besar kaum Anshar akan terpengaruh dengan ucapan anak semata wayang Rasulullah saw ini.

Dari sini jelas, jawaban Abu Bakar menjadi terlihat terburu-buru. Karena yang harus dilakukannya adalah membawa argumentasi yang lebih kuat lagi setelah mendengar Sayyidah Zahra as menyebutkan bagaimana para Nabi saling mewarisi. Ketika mendapat jawaban dari Sayyidah Zahra as yang terlebih dahulu menyebutkan bagaimana Rasulullah saw tidak pernah menentang hukum-hukum al-Quran, beliau kemudian mengulangi lagi dua ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Sayyidah Fathimah as tidak saja mengulangi ayat-ayat tersebut, tapi juga menjelaskan bagaimana caranya menggabungkan ayat-ayat tersebut dengan ayat-ayat yang menjelaskan bagian-bagian yang didapatkan oleh ahli waris. Pada akhirnya, Sayyidah Fathimah as menjelaskan filsafat hukumnya mengapa bagian-bagian ahli waris disebutkan secara terperinci, karena dikemudikan hari tidak ada lagi kerancuan dan kebingungan dalam masalah ini.

Pesan dialog:

Melihat porsi pembahasan tanah Fadak dalam khotbah Sayyidah Fathimah as bila dibandingkan dengan keseluruhan khotbah yang cukup panjang itu, dapat diamati bahwa tujuan Sayyidah Fathimah as lebih mulia dari sekedar yang dibayangkan oleh sebagian orang. Mereka menganggap Sayyidah Fathimah as menuntut tanah Fadak karena tidak beliau berbeda dengan orang lain yang juga begitu menitikberatkan masalah materi. Bila tujuan Sayyidah Zahra as adalah sekadar memenuhi kebutuhan materi sekalipun dari jalan halal karena itu adalah miliknya, maka masalah Fadak akan menyita sebagian besar dari khotbah itu.

Bila dalam peristiwa Saqifah, Sayyidah Fathimah as datang ke sana dan menegaskan kepada mereka bahwa Rasulullah saw telah menetapkan Ali bin Abi Thalib as sebagai khalifah sepeninggalnya. Mereka akan menjawab bahwa ini hanya masalah keluarga. Ia menginginkan agar suaminya menjadi pemimpin dan yang berkuasa.

Bila sejak awal, Sayyidah Zahra as menekankan masalah Fadak dan itu adalah miliknya, ia akan dituduh sebagai mata duitan dan kekuasaan. Karena ia ingin segalanya berada di tangannya dan tangan keluarga Nabi as. Pada akhirnya, mereka akan dituduh sebagai rasialis, karena tidak senang melihat pos-pos yang basah menjadi milik orang lain.

Masalah warisan dalam krisis tanah Fadak waktu itu dipergunakan dengan baik oleh Sayyidah Zahra as untuk menunjukkan bahwa mereka yang memerintah tidak memiliki kelayakan. Contoh yang akan ditampilkan adalah masalah tanah Fadak. Isu tanah Fadak dijadikan sarana oleh Sayyidah Fathimah as. Beliau ingin menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa pengganti Rasulullah saw yang disebut sebagai khalifah Rasulullah saw tidak mengerti masalah peradilan. Khalifah yang tidak mengetahui bagaimana cara mengadili orang lain berdasarkan ajaran Islam tidak layak menjadi khalifah.

Sayyidah Zahra as ingin mengatakan bahwa khalifah yang dipilih ini tidak punya kelayakan karena dalam masalah warisan yang mudah saja ia tidak mampu menyelesaikannya. Permasalahan sebenarnya bisa terhenti di sini, tapi karena Abu Bakar bangkit dan menjawab khotbah Sayyidah Zahra as, masalah menjadi lebih menguntungkan Sayyidah Zahra as dan merugikan Abu Bakar.

Ketika Abu Bakar menjawab tuntutan Sayyidah Zahra as dengan hadis yang berbunyi: “Kami para Nabi tidak mewariskan emas dan perak tidak juga rumah dan tanah untuk bercocok tanam”, Sayyidah Zahra as kemudian mengadu hadis itu dengan al-Quran. Namun, sebelum itu beliau memberikan tolok ukur bahwa ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad saw tidak pernah bertentangan dengan hukum-hukum al-Quran.

Pada kondisi yang seperti ini, Abu Bakar tidak dapat berbuat apa-apa, karena hadis yang dibawakannya bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran. Semua tentu masih ingat bagaimana Rasulullah saw bersabda bahwa setiap hadis yang bertentangan dengan al-Quran harus dilemparkan ke tembok. Artinya, tidak dipakai. Hadis itu bukan hadis Nabi. Lebih berat lagi, hadis itu adalah hadis palsu.

Di sini, kasus tanah Fadak bukan saja menyingkap masalah ketidaklayakan seorang khalifah menyelesaikan sebuah masalah ringan tentang warisan, tapi telah dihadapkan pada penggunaan hadis palsu; sengaja atau tidak. Untuk menjatuhkan argumentasi Sayyidah Zahra as, Abu Bakar terpaksa mempergunakan hadis palsu. Namun, dengan membawakan dua ayat terbongkar juga masalah ini.

Tidak ada jalan lain, Abu Bakar terpaksa mengakui kelihaian Sayyidah Zahra as dan keluasan pengetahuannya. Abu Bakar akhirnya hanya dapat berargumentasi bahwa ia dipilih secara aklamasi oleh seluruh para sahabat tanpa paksaan dan kebijakan yang diambilnya adalah demikian. Lagi-lagi Abu Bakar terjerumus dengan menjadikan orang-orang sebagai tolok ukur dan bukan al-Quran.

Penutup

Khotbah Sayyidah Fathimah as merupakan salah satu khotbah yang masyhur. Khotbah yang menunjukkan kefasihan, keberanian dan keluasan pengetahuan putri Rasulullah saw. Salah satu data sejarah paling autentik mengenai kondisi umat Islam generasi awal. Selain kajian sosial, hukum dan politik tidak lupa juga membahas masalah isu-isu keislaman seperti tauhid, keadilan ilahi, kenabian, imamah, hari akhir, filsafat hukum dan lain-lain.

Salah satu kajian yang menarik dari khotbah Sayyidah Zahra as adalah dialognya dengan Abu Bakar yang menjadi khalifah setelah terpilih di Saqifah. Dialog-dialog ini dapat memberikan nuansa baru untuk memahami polemik yang terjadi antara keduanya dalam masalah tanah Fadak.[Dialog Sayyidah Fatimah as dan Abu Bakar: Mengenai Kebenaran Hadis Politik]

Penulis: Saleh Lapadi (Anggota Redaksi Islam Alternatif, Qom, 18 Juni 2007)

Rujukan:
[1] . Kasyf al-Ghummah, jilid 2, hal 304. Menukil dari buku Syarhe Khutbeye Hazrate Zahra as, Ayatullah Sayyid Izzuddin Huseini Zanjani, Qom, 1375, cet 5, hal 17.
[2] . Cetakan Najaf, hal 12. Ibid.
[3] . Dinukil dari Syrahe Khutbeye Hazrate Zahra as, ibid.
[4] . Lihat http://islamalternatif.net/iph/index.php?option=com_content&task=view&id=87&Itemid=1
[5] . Al-Naml: 16.
[6] . Maryam: 5-6.
[7] . Al-Anfal:75.
[8] . Al-Nisa’: 11.
[9] . Al-Baqarah: 180

19 Responses to Dialog Sayyidah Fatimah as dan Abu Bakar: Mengenai Kebenaran Hadis Politik

  1. ali musa says:

    subhanallah begitu tangkas Azzahra menitik beratkan.. ttg warisan kepemimpinan pd contoh2 n pola kepemimpinan dr nabi2..
    daud as ke sulaiman, jg masalah nabi ya’kub..
    thanks..

  2. jen says:

    Allahuma salli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil farajahum
    الّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد وعَجِّلْ فَرَجَهُ

  3. pincalang dewa says:

    ketika ali dan al hasan jd khalifah, kenapa tanah tsb tak diambil kembali? bukankah itu hak mereka?

  4. rachmadi says:

    kenapa masalah warisan selalu dibesar2kan sehingga muncul islam yang berpecah ?

  5. abdullah says:

    mana jawabannya,ana jg pengen tau setelah imam ali jd kholifah apakah tanah padak diambil kembali?

  6. edan says:

    pincalang dewa dan abdullah : Tatkala Imam Ali dan Al Hasan as menjadi Khalifah tanah fadaq tersebut sudah habis dibagi-bagi oleh para khalifah sebelumnya, terus apa yang mau diambil. Biarlah hal ini menjadi bagian yamul akhir, sebagai bagian keadilan Illahi.

    • Anonim says:

      Harus dibedakan posisi nabi di Al Qur’an : sebagai aku, engkau, bagian dari kalian, dia, Muhammad (namanya sendiri). juga penting membedakan antara nabi dan rasul. ingat dalam AQ: pampasan perang itu untuk Allah dan Rasul, bukan untuk Allah dan Nabi. Pemakaian Rasul bearti nabi sebagai utusan Allah milik umat. Rasul dalam hal ini bertindak sebagai pemimpin negara, menteri keuangan, bendahara negara, “Bank Negara” yang ini tidak bisa diwariskan pada keturunannya. jadi dalam hal ini nabi sebagai pejabat yang memegang kekuasaan mengatur keuangan negara, maka sangat wajar harta pampasan perang tidak diwariskan kepada ahli warisnya tetapi diserahkan kepada “pepimpin umat” setelah.
      Perhatikanlah dengan hati-hati terhadap multifungsi nabi ini di AQ. Sangat berbeda kedudukan nabi jika sesuai dengan kata gantinya. Dalam hal ini kedudukan nabi sangat beda dengan kedudukan rasul. Dan ayat-ayat yang mengatur ini mengunakan kata rasul, bukan kata nabi.

  7. yando.z says:

    wow..salut dengan bunda sayyidah fathimah as.
    keilmuannya tak tertandingi !

  8. M. Asyraful6 says:

    Forum saat itu bukan untuk bertanding siapa yang paling paham, tetapi lihatlah situasi saat itu dimana Allah dan Rasul-Nya menmghendaki pangorbanan harta dan jiwa, bahkan sampai berhenti sebentar untuk mengurusi tanah pertaniannya disebutkan sebagai “at-tahlukah” karena itulah Abu Bakar ra. membawa semua hartanya fisabilillah yang menyukakan Allah dan Rasul-Nya. Apalagi saat itu terjadi mobilisasi besar-besaran menghadapi musuh dari berbagai arah. Ingat ! Kalau Abu Bakar mengatakan beliau rela melihat para istri nabi dan keluarganya dicabik binatang buas dari pada melihat agama yang telah sempurna saat itu berkurang, ini bukan ungkapan kebencian tetapi semangat juang dan tanggung jawab khalifah. Salahnya ada pada antum yang suka profokasi dan pertentangkan. Nanti dihari kiamat ana dan ente akan lihat Kemaha Bijaksanaan Allah membahagiakan sayyidatina Fatimah ra, Sayyidina Ali ra, sayidina Abu Bakar dan menghukum antum dan ana karena suka provokasi saudara-saudara Nabi di akhir zaman untuk saling membenci pendahulu mereka yang dicintai Allah dan Rasun-Nya.

  9. sekedar pembaca says:

    M. Asyraful6 hebat hebat abubakar ra. tau kesukaan allah tp tidak tau perintah allah dalam al’qur’an padahal kesukaan allah menurut saya yg masih dalam tahap belajar ga bisa bilang antum salah ana benar kesukaan allah dan rasullnya adalah ketaatan….makanya orang yang taat yg masuk surga kalo yang inisiatif sendiri sih yah di alqur’an ga dikatakan masuk surga, masalah menghadapi musuh menurut orang bule sana sih ngacungin jempol ma Nabi muhamad SAW dengan kesederhanaan bukan dengan kemegahan beliau bisa ko menghadapi musuh musuhnya,ya kalo saya juga rela liat orang lain menderita tp kalo diri sendiri ogah hahahaha….kenapa ga rela ma dirinya yang tercabik2 untuk agama malah ke orang lain…..ini bahan belajar untuk kita jangan pake provokasi provokasi, kan kalo satu sama lain tetap dengan rulenya masih masing ga ada kan saling menyakiti kan ga di ajarkan untuk saling menyakiti kan jhehehehehe

    • Anonim says:

      Pak Sekedar Membaca: Harus dibedakan posisi nabi Muhammad dalam Al Qur’an (AQ). Sebagai aku, engkau, bagian kalian, dia, dan namanya sendiri. Bahkan harus dibedakan antara nabi dan Rasul. AQ hanya mengatakan taat kepada Allah dan Rasul, tak satupun yang mengatakan taat kepada nabi. Nabi, jika AQ menulis yang seperti ini, menunjukkan seorang dengan akhlak paling mulia yang menjalani arahan Allah terhadap dirinya dan umatnya. dalam hal ini nabi bisa berbuat salah, yakni ketika ia mengharamkan sesuatu yang halal (QS 66:1). sebagai Rasul, menunjukkan nabi telah dipresentasikan oleh Allah, bebas dari unsur kesalahan manusianya. Dalam hal pampasan perang, AQ mengunakan terminologi Rasul bukan nabi. hal ini menunjukkan bahwa pampasan perang bukanlah seuatu yang diwarisi nabi untuk anak-cucunya, tetapi untuk umat Islam seluruhnya. dalam hal ini nabi bertindak sebagai kepala negara, pemimpin umat, bendahara negara, DPRnya negara, menteri keuangan sehingga pengaturan pampasan perang setelah nabi wafat diserahkan kepada pemimpin selanjutnya.

  10. MellazBrow says:

    sbenarx pa tjuan pnulis…. stelah sya mlihat smua ne smata2 hx kebodohan klian,… ne sling menjatuhkn pra n membanding2kn antra yg stu dgn yg lain…. tidakkh klian sdar bgmn mna mrka berjuang, bgmn seandaix klian ad pd saat2 it, apkh klian akn msuk islam n berjuang ato sblikx anda msih dlm kkafiran dbwah naungnx abu jahal yg suka membolak blikkn fakta dan sll mncri ksalhan orang lain…. tidak pantas kita mengadili se2org aplg mengenai mslah akhrat mrk… kepd Allohlah sbaik2x kta mengemblikn sgla urusan dan cukuplh Alloh yg tau yg hak dan yg batil…………. tidakkah kta sdari bahwa Rosululloh talh mninggalkn Alquran n Alhadis agar di jdikan sbgai ptunjuk pd klian, tidakkh sbaikx kita meperbaiki diri bukan mencari kekurangan2an pra2 pjuang2 Islam… tidakkah lbih baek kita mensyukuri akn smua nikmat it n bangga dgn perjuanganx. … ne smua bkan menguatkan Iman akan ttp mlemahkan Iman se2org yg membcax…..
    hai mnusia jgalah diriM dan takutlah pd Alahi Robby … perbaikilah diri klian, jauhkn HatiM dari rsa benci, iri dan sll mnjga org lain,,, sungguh Alloh mha tw ap yg tersembuxi dilangit dan di bumi aplagi dlam hati klian…. 5aafffffffffffffffffffff…. slam ukhuwah

  11. Anonim says:

    KENAPA HADIST (TERMASUK SUNNAHPUN) TAK BISA DIPAKAI UNTUK MENJELASKAN AL QUR’AN

    Sunnah adalah segala sikap, perkataaan, dan perbuatan nabi selagi beliau hidup. Sunnah nabi memegang peranan penting. Peranan sunnah saat nabi hidup melebihi peranan Al Qur’an, yang saat itu belum lengkap. Setiap muslim harus menerima tafsir Al Qur’an oleh nabi. Peran akal orang muslim terhadap Al Qur’an tidak ada. Al Qur’an hanya ditafsir oleh nabi (sunnah) dan harus diikuti. Setelah nabi wafat maka sunnah nabi diriwayatkan dalam hadist. Adanya distorsi waktu dan tempat dan subjektifitas perawi menyebabkan hadist tidak betul-betul menjamin sama seperti sunnah nabi. Jadi hadist tidak betul sama 100% dengan sunnah.
    Hadist nabi mulai disiarkan beberapa puluhan tahun setelah Nabi Muhammad wafat saat friksi antar umat Islam telah terjadi. Hadist mulai ditulis pada abad pertama hijriah tetapi baru secara intensif pada abad ke-2 dan ke-3 hijiriah. Pengumpulan hadist yang dianggap lebih otentik adalah pengumpulan yang dilakukan belakangan (abad ke-2 dan ke-3 hijiriah). Hadist terlambat dikumpulkan karena takut tercampur dengan catatan atau ingatan terhadap ayat-ayat Al Qur’an. Terlambatnya pengumpulan hadist menyebabkan distorsi yang cukup besar dengan sunnah. Salah satu alasan (yang memiliki sanad yang lemah) pelarangan hadist ditulis karena nabi melarangnya. Pada zaman Umar, Umar pernah melarang Abu Hurairah untuk meriwayatkan hadist karena banyaknya hadist yang diriwayatkannya, walaupun pada akhirnya larangan itu ditariknya kembali.
    Beberapa aliran berpendapat bahwa hadist pelarangan penulisan sunnah adalah hadist yang lemah. Pendapat pelarangan penulisan sunnah didukung dengan adanya fakta: tidak adanya usaha umat muslim awal untuk mengumpulkan hadist setelah AL Qur’an menjadi mushaf. Beberapa hadist telah dicatat pada saat-saat awal oleh sebagian kecil orang. Hadist betul-betul dikumpulkan pada abad kedua dan ketiga hijriah. Tengang waktu yang panjang ini menyebabkan periwayatan hadist melalui perawi-perawi hadist menjadi lebih otentik dibandingkan dengan catatan hadist. Orang dapat saja mengatakan bahwa tulisannya adalah dari nabi. Sangat sulit membutikan apakah tulisan-tulisan tersebut memang berasal dari era nabi saat teknologi carbon (untuk mengetahui usia tulisan) belum ada. Sangat sulit membutikan bahwa penulisnya adalah orang yang dapat dipercaya.
    Hadist nabi ditulis berdasarkan ingatan generasi pergenerasi yang disampaikan secara lisan turun temurun. Ada beberapa kelemahan (paling tidak ada 3) dengan cara demikian. Pertama, ingatan longterm (jangka panjang) seseorang tergerus waktu. Tidak ada seorangpun dapat mengingat 100% kejadian, peristiwa, ataupun cerita/ berita yang lampau. Seorang ibu tidak ingat dengan pasti umur perkembangan anaknya dengan tepat, kapan bisa tersenyum, kapan bisa duduk, kapan bisa tegak, kapan bisa berjalan, dan lain-lain. Ingatan ini kian hilang jika anak kian besar. Ingatan shortterm (jangka pendek) jarang mengalami distorsi, tetapi distorsipun dapat tetap terjadi bahkan terhadap Nabi Muhammad sekalipun (QS 2: 106). Periwayatan hadist nabi pada generasi-generasi awal umat muslim memerlukan pengingatan longterm para perawi hadist. Kedua, subjektifitas mempengaruhi ingatan. Subjektifitas mempengaruhi pengungkapan kembali ingatan tersebut. Subjektifitas sangat dipengaruhi oleh situasi, kondisi, sosial, budaya, berpihak kepada siapa, dan suasana perasaan. Subjektifitas ini mempengaruhi pengungkapan kembali kebenaran informasi. Seorang ibu akan mengingat umur perkembangan anaknya lebih cepat dari waktunya jika ingatan itu ditujukan dalam rangka me-recall kecerdasan anak yang dilombakan. Subjektifitas inilah yang mempengaruhi perbedaan dasar hadist sunni dan syiah. Hadist-hadist sunni tidak mengeklusi perawinya, sementara hadist-hadist syiah mengeklusi perawinya. Maka hadist-hadist sunni sangat pasti mengakomodir hadist-hadist yang pro syiah. Ketiga, distorsi (penyimpangan) informasi antara komunikator (pemberi informasi) dengan komunikan (penerima informasi). Makin banyak orang yang terlibat maka distorsi makin besar. Bermain “pesan berantai” menunjukkan bahkan dengan pesan yang baru yang disampaikan melalui empat atau lima perantara, pesan telah tidak sama seperti aslinya bahkan dengan makna yang berlawanan. Keorsinilan (keaslian) hadist nabi (betul-betul sesuai dengan sunnah nabi) paling tidak terganggu oleh ketiga faktor tersebut. Gangguan lainnya, bahkan yang cukup fatal, adalah kegagalan umat Islam memposisikan Nabi (sunnah) terhadap AQ, apakah nabi sebagai aku, engkau, kalian, dia, atau namanya sendiri dalam AQ. Kegagalan ini tidak seharusnya terjadi pada umat Islam sekarang. Kegagalan inipun tidak selayaknya terjadi pada umat Islam awal, apakah nabi sebagai pribadi, pemimpin, kepala negara, hakim tunggal, bendaharawan negara, dan lain-lain multi fungsi lainnya. Salah satu contohnya adalah pampasan perang. Pampasan perang yang untuk Allah dan rasul harus dilihat nabi sebagai kepala negara dan bendaharawan negara, sehingga pampasan perang ini tidak menjadi harta waris bagi keturunannya. Umar salah satu pemimpin yang bisa memilih dan memilah ini, ketika ia “berani” untuk mengambil alih tanah yang telah diberikan nabi kepada salah satu sahabat tetapi sahabat ini menyia-nyiakan tanah tersebut dengan tidak mengolahnya sementara banyak rakyat yang membutuhkan tanah tersebut.
    Kemurnian/kesahihan hadist secara tradisoanal/konvensional paling tidak dipertahankan oleh periwayat yang mempunyai reputasi baik dan urutan-urutan nama yang menanjak sampai pada sahabat atau keluarga nabi. Saya sendiri berpendapat kesahihan suatu hadist harus disaring oleh Al Qur’an. Kebenaran Al Qur’an dapat dilacak sampai kata per kata (bahkan huruf perhuruf), tetapi kebenaran hadist selayaknya berdasarkan makna keseluruhan (kalimat).
    Hadist sangat sulit dikatakan sama persis dengan sunnah, karena hadist tidak pernah dicatat begitu hadist tersebut diucapkan nabi (walaupun beberapa menyatakan ada yang mencatatnya, tetapi dengan sistem penulisan hadist yang demikian sangat sulit tulisan itu asli karena orang dapat mengaku-ngaku itu berasal dari nabi). Perbuatan nabi bergantung pada situasi dan kondisi tertentu, jadi tak mesti sama terhadap masalah yang sama pada situasi dan kondisi berlainan. Karena itu ketika hadist sebagai uraian engkau dalam AQ harus diketahui latar belakang hadist tersebut.
    Perbuatan nabipun sangat sulit digambarkan/ diuraikan dengan jelas seperti kejadian aslinya, karena setiap perawi hadist memiliki sudut pandang tertentu. Hal ini bisa dibuktikan pada sholat. Gerakan dan ucapan sholat merupakan gerakan dan ucapan yang dilakukan dan diucapkan terus-menerus sejak Nabi Muhammad. Gerakan dan ucapan ini dilakukan paling tidak dalam 5 kali atau 17 rekaat dalam sehari semalam. Sholat secara logika, seharusnya terjaga (sangat sedikit bervariasi) sejak zaman nabi, tetapi kenyataannya mengalami beberapa/sedikit variasi, bahkan sangat bervariasi. Beberapa variasi tersebut diantaranya posisi kedua tangan ketika berdiri, posisi jari telunjuk saat tahyat, dan doa iftidah. Beberapa variasi kadang dapat dijelaskan (dengan hadist) bahwa variasi tersebut memang dilakukan oleh nabi. Beberapa variasi menjadi “kebablasan”, misalnya bacaan basmalah pada Al Faatihah. Perdebatan mengenai bacaan basmalah saat melafazkan Al Faatihah apakah tidak diucapkan, diucapkan lebih lemah, atau diucapkan sama keras dengan ayat-ayat lain Al Faatihah memiliki dasar hadist masing-masing. Jika dikembalikan ke Al Qur’an maka bacaan tersebut harus sama keras dengan ayat-ayat Al Faatihah lainnya, karena ayat basmalah merupakan ayat pertama Al Faatihah. Dan harus diingat bahwa surah Al Faatihah merupakan surat yang pertama kali diturunkan secara lengkap, jadi sejak awal kalimat basmalah sudah menempel kuat dengan ayat-ayat lainnya di surah tersebut, jadi tidak mungkin Nabi tidak melafazkannya.
    Kalimat-kalimat yang dapat diipertahankan dari zaman nabi sampai sekarang hanya kalimat-kalimat azan dan syahadat. Keaslian kalimat azan dapat dipertahankan, karena kalimatnya tidak sekompleks kalimat-kalimat sholat, dilafazkan lebih kuat dari bacaan sholat sehingga mudah dikoreksi jika terjadi kesalahan, dan dilafazkan lebih banyak dari bacaan-bacaan sholat (paling tidak diucapkan 3 x 5 kali dalam sehari, yakni 2x saat azan dan 1 kali tiap komat pada 5 kali shalat). Bacaan basmalah surah Al Faatihah dalam kegiatan sholat yang bervariasi dan Lafaz azan yang dapat bertahan, menunjukkan tradisi pemeliharaan secara lisan baru dapat dipertahankan (tidak bervariasi) jika ucapan tersebut dibaca keras dan dibaca berulang-ulang sampai 15 kali. Syahadat dapat dipertahankan karena pengucapannya melebihi dari pengucapan azan, karena syahadat melekat pada azan. Bertahannya keaslian kalimat azanpun terkadang “terganggu” dengan perbedaan azan sunni dan syiah (nb: lihat di you tube, variasi ini mungkin hanya terjadi pada sebagaian aliran syiah), dimana menurut sunni: orang syiah menambahkan kalimat sementara menurut syiah: orang sunnilah yang mengurangi kalimat. Jadi dengan penurunan riwayat yang dilakukan berulang-ulang sebanyak paling tidak 15 kali sehari semalam, dengan pengucapan keras malahan, terus menerus paling tidak sejak nabi hijrah di madinah hingga sekarang masih terdapat variasi. Dapat dibayangkan bagaimana suatu riwayat (yang terkadang susunan kalimatnya lebih komplek dari azan) dapat tidak mengalami distorsi yang sering dipakai menjelaskan AQ. Jadi inilah termasuk salah satu kelemahan jika hadist menjelaskan AQ. Hadist-hadist yang bertentangan dapat dilihat dengan mudah ketika hadist-hadist sunni dan syiah disandingkan. Aisyah yang cantik, putih dan pipinya kemerah-merahan (humairoh) pada satu sisi dapat menjadi hal yang sebaliknya di sisi lainnya.
    Hanya AQ yang dijamin keasliannya, karena itu memahami Al Qur’an menjadi hal yang pokok. Hadist dapat dijadikan pegangan setelah dilakukan penyaringan oleh Al Qur’an. Kebenaran hadist selayaknya tidak hanya ditinjau dari shahinya hadist tersebut, tetapi juga perlu diklarifikasi oleh Al Qur’an. Hadist dapat dipakai sebagai pedoman hidup ketika ia telah disaring oleh Al Qur’an. Hadist seharusnya diikuti dan seharusnya ditelaah setelah AQ memposisikannya. Hadist secara umum harus diikuti, sebagai jabaran kami di Al Faatihah. Hadist harus dilihat latar belakangnya ketika hadist merupakan jabaran engkau dalam AQ. Hadist harus diikuti secara mutlak ketika jabaran aku dalam AQ, dan kita harus memilihi salah satu yang tersedia (dan inilah gunanya mashab). Hadist harus diikuti ketika hadist jabaran kalian dalam AQ, dimana nabi merupakan pengaplikasi nilai-nilai universal. Hadist tidak dapat diikuti, ketika nama nabi disebut dalam AQ.
    Peran sunnah yang lainnya adalah sebagai “pilihan hidup” atau “gaya hidup” (life style). Gaya hidup nabi dapat memasuki area krusial. AQ hanya mematok secara umum makanan yang diharamkan, tetapi hadist membatasi lebih lanjut makanan yang tidak boleh dimakan. AQ merupakan kitab yang “tahan uji” terhadap ilmu dan semua kritik, karena itu dalam mengharamkan makanan AQ hanya mematok nilai kebenaraan, yakni makanan yang berpengaruh baik terhadap kesehatan. Sementara hadist memiliki nilai-nilai tidak hanya kebenaran.
    Nyatalah: kunci pemurnian Islam adalah AQ. Pertentangan aliran harus diluruskan oleh Al Qur’an. Hadist, mazhab, aliran, dan yang lain-lain harus disaring melalui Al Qur’an. Karena itu marilah kita bergiat lagi mengedepankan Al Qur’an dalam menjawab permasalahan agama, jangan melihat aliran. Mungkinkah keadaan miris umat Islam sekarang karena kita secara tidak sadar meninggalkan AQ, karena hampir sebagain besar kita berpatokan pada yang lain. Dan AQ hanya sebagai kitab yang disakralkan bukan sebagai kitab petunjuk kehidupan.

  12. Anonim says:

    Pampasan perang untuk Allah dan Rasul HARUS dilihat nabi sebagai kepala negara dan bendaharawan negara dimana saat negara Islam baru lahir jabatan struktural dan fungsional belum terpisahkan dan kesemuanya ada pada diri nabi. Jadi wajar pampasan perang ini tidak diwariskan kepada keluarganya tetapi diolah oleh pemimpin setelahnya. Kita tidak bisa mengetahui apakah dialog itu benar-benar terjadi, ataupun jika terjadi apakah dialog tersebut sampai “otot-ototan”, atau sebenarnya dialog tersebut berlangsung santun dan diakhiri dengan keihlasan Fatimah untuk tidak menerima pampasan perang tersebut karena ini terbukti setelah Hasan menjadi khalifah ia tidak menuntut harta pampasan tersebut. Marilah mengali kebenaran Islam dengan tidak ada klaim yang paling benar atau menyalakan yang lainnya.

    • pakem says:

      mendingan ente istikhoroh aj…imam hasan malulah minta tanah fadaknya,itu ahlaq,tp ente jng tafsirkan ga nuntut,mestinya tau diri aj balikin dong tanah fadaknya,buktinya umar bin abdul aziz mengembalikan tanah fadak,itu namanya ahlaq yang baik,lagipula sayyidah fatimah pastti tau bersikap…masa milih khalifah kaya demokrasi aneh,ini bicara ketaatan dan bukti kecintaan kpd nabi muhammad saw….inget peristiwa ghadir khum…….umar bin khattab juga ngakuin kok jika imam ali datang ke masjid tidak ada yang bisa kasih fatwa….itu bukti imam ali emang berilmu apalagi masalah hukum….umar juga bingung mutusin hukum ada gurbenrnya yang minum khamar….akhirnya nanya ama ibnu abbas tentang kasus itu….udh deh mau bukti apa aj klo blm di buka pasti ada rasa sempit di dada dan di hati…urusan abu bakr,umar biar jadi urusan Allah kita ga ush menghujat…ambil yang baik2nya tapi akui klo emang mrka salah dan jng di ikuti apalagi ente dakwahkan ke orang lain takutnya nanti dosa jariah karena di ikuti org lain…

      • Anonim says:

        Peristiwa khadir ghum tidak secara ekplisit memilih Ali sebagai kahlifah setelah rasul wafat. Tidak mungkin, hampir sebagian besar umat setelah kematian Nabi tidak mengerti wasiat ini. Mengatakan mereka melanggar perintah nabi lebih naif lagi, karena terlampau banyak ayat AQ berhubungan dengan mereka. Jadi mereka telah diridhoi Allah. Dalam AQ: harus dibedakan antara nabi dan rasul. Nabi adalah sebagai pribadi, sementara rasul adalah nabi yang telah dipresentasikan Allah. Karena itulah di AQ menyebut : taatilah Allah dan taatilah rasul. Ayat-ayat AQ yang dikutip di atas mengunakan kata rasul bukan nabi.

  13. sido says:

    Situs ini kayaknya situs siah.
    Hadist”x pun juga belum tentu soheh.
    Yg jelas sekali sifat dari cerita ini mengandung ngosbul fikri ( perang pemahaman ) pemecah ummah.
    Hati” kawan….

  14. dedy suhardy says:

    Pendapat ya tetap pendapat, dari dulu sampai kapanpun. Dan sulit melihat diri sendiri, makin disuruh melihat diri sendiri makin sulit memahami diri sendiri, padahal kelak manusia hanya akan mempertanggung jawabkan apa yang ada pada dirinya, bukan yang ada pada diri orang lain.
    Pendapat ya tetap pendapat, dari dulu sampai kapanpun. Nabi atau Rosulullah saw. Tidak berpendapat, apalagi semata-mata pendapat dari dirinya sediri, apalagi pendapat dari hawa nafsunya.
    Pendapat ya tetap pendapat, dari dulu sampai kapanpun. Kalau kita merasa pendapat kita itu benar barangkali salah, kalau kita menganggap pendapat orang lain itu salah barang kali benar. Pedapat ya tetap pendapat sampai kapapun.
    Allahuma sholi ala muhammad wa aali muhammad.
    Alhamdulillah kama huwa ahluh.

  15. PAHAMI says:

    astagafirullah…fatimah adalah putri rasullulah…dan abu bakar …sahabat rasulullah…ini fitnah yg nyata dari orang2 yg ingin memecah belah kaum muslimin…orang2 munafik menyebar fitnah…yakinlah ALLAH TELAH MEMELIHARA RASULLULAH DARI segla KESALAHAN..bgamana mungkin orang2 munafik menganggap rasulullah salah dalam memilih sahabat….masyaallah sungguh zalim..tuduhan itu..

Tinggalkan Balasan ke pincalang dewa Batalkan balasan