Wahyu dan keNabian

Wahyu dan Kenabian Muhammad SawPetunjuk Universal

Dari konsepsi tauhid tentang dunia dan manusia lahir keyakinan kepada wahyu dan kenabian. Kalau meyakini wahyu dan kenabian, maka meyakini pula universalitas petunjuk Allah. Prinsip petunjuk universal merupakan bagian dari konsepsi tauhid tentang dunia, dan konsepsi ini diajukan oleh Islam.

Karena Allah SWT wajib ada sendiri dalam setiap hal dan Maha Pemurah, maka Dia memberikan karunia-Nya kepada setiap wujud sesuai dengan kemampuan masing-masing wujud, dan membimbing setiap wujud dalam perjalanan evolusionernya.

Yang dibimbing oleh Allah adalah segala sesuatu, dari partikel yang sangat kecil sampai bintang yang sangat besar, dan dari wujud tak bernyawa yang paling rendah sampai wujud bernyawa yang paling tinggi yang kita ketahui, yaitu manusia. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci menggunakan kata “wahyu” dalam hubungannya dengan bimbingan untuk wujud inorganis, tanaman dan binatang. Penggunaan kata “wahyu” ini persis seperti ketika Al-Qur’an Suci menggunakannya dalam hubungannya dengan bimbingan untuk manusia.

Di dunia ini tiap-tiap sesuatu senantiasa bergerak. Tiap-tiap sesuatu selalu bergerak menuju tujuannya. Pada saat yang sama, semua indikasi menunjukkan bahwa tiap-tiap sesuatu didorong menuju ke tujuannya oleh suatu kekuatan misterius yang ada di dalam dirinya. Kekuatan ini disebut petunjuk atau bimbingan Allah. Al-Qur’an Suci menyebutkan bahwa Nabi Musa as berkata kepada Fir’aun pada masanya, yang artinya sebagai berikut:

Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (QS. Thâhâ: 50)

Dunia kita ini merupakan sebuah dunia yang penuh dengan tujuan. Tiap-tiap sesuatu diarahkan untuk menuju ke tujuan evolusionernya oleh kekuatan yang ada di dalam dirinya, dan kekuatan yang ada di dalam dirinya itu adalah petunjuk Allah.

Kata “wahyu” berulang-ulang digunakan dalam Al-Qur’an Suci. Bagaimana kata itu digunakan, dan untuk kesempatan apa kata itu digunakan, memperlihatkan bahwa Al-Qur’an Suci menganggap wahyu bukan untuk manusia saja. Menurut Al-Qur’an Suci, wahyu juga untuk tiap-tiap sesuatu, setidak-tidaknya untuk semua makhluk hidup. Itulah sebabnya Al-Qur’an Suci bahkan berbicara tentang wahyu untuk lebah. Yang dapat dikatakan adalah bahwa wahyu dan petunjuk ada tingkatan-tingkatannya. Tingkatannya beragam, sesuai dengan beragamnya tingkat evolusi tiap-tiap sesuatu yang berbeda-beda.

Wahyu yang derajatnya paling tinggi adalah wahyu yang diberi-kan kepada para nabi. Basis wahyu seperti ini adalah kebutuhan manusia akan petunjuk Tuhan. Dengan petunjuk Tuhan inilah manusia dapat melangkah menuju suatu tujuan. Dan tujuan ini berada di luar alam material yang kasat mata ini. Dan manusia harus menuju ke tujuan ini. Wahyu juga memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan sosialnya, suatu kehidupan yang membutuhkan suatu hukum yang diridai oleh Allah. Sudah kami jelaskan kebutuhan manusia akan sebuah ideologi yang evolusioner, dan juga sudah kami jelaskan ketidakmampuan manusia untuk merumuskan sendiri ideologi semacam itu.

Para nabi merupakan semacam perangkat penerima yang berbentuk manusia. Mereka merupakan orang-orang pilihan yang mampu menerima petunjuk dan ilmu pengetahuan dari alam gaib. Allah sajalah yang dapat menilai siapa yang tepat untuk menjadi nabi. Al-Qur’an Suci memfirmankan:

Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. (QS. al-An’âm: 124)

Kendatipun wahyu merupakan sebuah fenomena, dan fenomena ini berada di luar jangkauan persepsi dan eksperimen langsung manusia, namun dampaknya dapat dirasakan—seperti dampak banyak kekuatan lain—dalam efek-efek yang dilahirkannya. Wahyu Tuhan melahirkan dampak yang besar sekali pada pribadi penerimanya, yaitu nabi. Wahyu “mengangkat” nabi ke kebenaran. Dengan kata lain, wahyu menghidupkan bakat dan kemampuan nabi, dan mewujudkan revolusi yang besar serta mendalam pada diri nabi untuk kepentingan umat manusia. Dengan wahyu, nabi memperoleh keyakinan mutlak. Sejarah belum pernah menyaksikan keyakinan seperti keyakinan para nabi dan orang-orang binaan nabi.

Ciri Khas Nabi

Nabi yang, berkat wahyu, punya kontak dengan sumber eksistensi, memiliki ciri-ciri khas tertentu:

1. Mukjizat

Setiap nabi yang diangkat oleh Allah memiliki kekuatan supranatural. Dengan kekuatan ini nabi dapat melakukan perbuatan mukjizat, untuk membuktikan bahwa risalah dan misinya itu benar dan berasal dari Tuhan. Al-Qur’an Suci menyebut “ayat” untuk mukjizat yang dilakukan oleh nabi dengan kehendak Allah, yaitu “ayat” (tanda) kenabian. Al-Qur’an Suci menyebutkan bahwa di setiap zaman orang meminta kepada nabi di zaman mereka untuk memperlihatkan beberapa mukjizat kepada mereka. Karena permintaan tersebut masuk akal, maka nabi mengabulkan permintaan mereka, karena kalau tidak, maka orang yang mencari kebenaran mustahil mau mengakui kenabian. Namun nabi tak mau mengabulkan permintaan untuk memperlihatkan mukjizat kalau tujuannya bukan untuk mencari kebenaran. Misal, orang berkata kepada nabi mau masuk agama yang dibawa nabi kalau nabi memperlihatkan mukjizat, permintaan mereka diabaikan. Namun, Al-Qur’an Suci menyebutkan banyak mukjizat nabi, seperti meng­hidupkan orang yang sudah mad, menyembuhkan penyakit yang tak dapat disembuhkan, dapat berbicara ketika masih bayi, mengubah tongkat menjadi ular, menjelaskan kegaiban dan memaparkan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang.

2. Maksum

Ciri khas lain nabi adalah maksum, yaitu tak mungkin berbuat dosa atau berbuat keliru. Nabi tak dikuasai oleh keinginan pribadinya. Nabi tidak berbuat salah. Kemaksuman nabi tak dapat disangkal lagi. Namun apa sesungguhnya arti kemaksuman nabi? Apakah artinya adalah bahwa bila nabi mau berbuat dosa atau salah, malaikat datang mencegahnya seperti seorang bapak mencegah anaknya agar tidak tersesat? Atau, apakah artinya adalah bahwa nabi diciptakan sedemikian rupa sehingga nabi tak dapat berbuat salah, persis seperti malaikat yang, misalnya, tak mungkin berbuat zina karena malaikat tak punya nafsu seksual, atau seperti mesin, yang tak melakukan kesalahan karena mesin tak punya otak? Atau, alasan kenapa nabi tidak berbuat salah adalah karena nabi telah dianugerahi intuisi (gerak hati), iman dan keyakinan yang istimewa tingkatannya? Ya, itulah satu-satunya penjelasan yang benar. Sekarang mari kita bahas satu persatu mukjizat dan kemaksuman.

Definisi kemaksuman

Manusia adalah makhluk yang merdeka. Manusia menentukan apa saja yang bermanfaat bagi dirinya dan apa saja yang merugikan bagi dirinya. Berdasarkan itu manusia memutuskan apa yang akan dilakukannya. Penilaiannya berperan penting dalam pilihannya. Mustahil manusia memilih melakukan sesuatu yang menurut penilaiannya akan merugikan dirinya. Misal, orang yang sehat pikirannya yang punya perhatian kepada hidupnya tak mungkin mau menjatuhkan dirinya dari atas bukit, juga mustahil dia mau minum racun yang mematikan.

Dari segi kekuatan iman dan kesadaran akan konsekuensi dosa, tiap-tiap orang berbeda-beda. Semakin kuat imannya, semakin sadar dia, semakin sedikit dosa yang akan dilakukannya. Kalau iman seseorang begitu kuat, maka bila dia berbuat dosa dia merasa seakan-akan tengah mencampakkan diri dari atas bukit, sehingga peluangnya untuk melakukan dosa jadi tak ada artinya. Keadaan seperti ini kami sebut maksum. Di sini kemaksuman terjadi karena kesempurnaan iman dan takwa. Agar bisa maksum, manusia tak membutuhkan kekuatan dari luar dirinya untuk mengendalikan dirinya agar tidak berbuat dosa. Juga dia tak perlu jadi tidak berdaya. Tidak berbuat dosa tidak patut dipuji jika manusia tidak mampu berbuat dosa, atau jika dia dihalangi oleh kekuatan dari luar dirinya. Posisi orang yang tak mampu berbuat dosa adalah seperti posisi narapidana yang tak mampu berbuat jahat. Tentu saja narapidana tak dapat digambarkan sebagai orang yang jujur dan lurus.

Kemaksuman nabi merupakan hasil dari intuisinya. Kesalahan terjadi kalau seseorang berhubungan dengan realitas melalui indera batiniah dan lahiriahnya. Dan kemudian dia membuat gambaran mental tentang realitas itu yang dianalisisnya dengan menggunakan kemampuan-kemampuan mentalnya. Dalam hal itu dia dapat saja berbuat salah dalam menyusun gambaran mentalnya, atau dalam menerapkan gambaran tersebut pada realitas yang ada di luar dirinya. Namun bila dia memahami realitas itu langsung melalui indera khusus, sehingga tak perlu lagi menyusun gambaran mental tentang realitas tersebut, dan pemahamannya tentang realitas itu saja sudah berarti hubungan langsungnya dengan realitas itu, maka tidak timbul masalah melakukan kesalahan. Para nabi berhubungan dengan realitas alam semesta dari dalam diri mereka. Tentu saja tak dapat dibayangkan terjadinya kesalahan pada realitas itu sendiri. Misal, kalau kita menaruh seratus manik-manik tasbih di dalam sebuah bejana, kemudian menaruh seratus lagi, dan perbuatan ini diulang seratus kali, maka kita tak mungkin mampu ingat persis hitungannya dan tak mungkin yakin apakah kita mengulang perbuatan itu seratus kali, sembilan puluh sembilan kali atau seratus satu kali. Namun realitas yang sesungguhnya, yaitu jumlah yang sesungguhnya dari manik-manik tersebut, tak mungkin lebih sedikit atau lebih banyak dari realitasnya. Orang-orang yang berada di tengah-tengah realitas dan dekat dengan akar eksistensi tak mungkin melakukan kesalahan. Mereka maksum.

Beda Nabi dan Orang Jenius

Dari sini jelaslah beda antara nabi dan orang jenius. Orang jenius adalah orang yang memiliki daya intelektual yang tinggi, dan pemahamannya juga luar biasa. Orang jenius bekerja berdasarkan data mentalnya sendiri, dan membuat kesimpulan dengan meng­gunakan kemampuan otaknya. Orang jenius terkadang melakukan kekeliruan ketika membuat kalkulasi. Di samping memiliki kemampuan otak dan kemampuan membuat kalkulasi, nabi juga memiliki kekuatan lain yang disebut wahyu, sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang jenius. Karena itu, tak mungkin untuk membandingkan orang jenius dengan nabi. Orang jenius dan nabi beda golongannya. Kita bisa saja membandingkan kemampuan dua orang dalam melihat dan mendengar, namun kita tak dapat membandingkan daya lihat seseorang dengan daya dengar orang lain lalu kita katakan mana yang lebih kuat. Orang jenius memiliki daya pikir yang luar biasa, sedangkan nabi memiliki kekuatan yang sama sekali beda, dan kekuatan ini disebut wahyu. Nabi selalu berhubungan erat dengan Sumber eksistensi. Karena itu, tidaklah betul kaiau membandingkan orang jenius dengan nabi.

3. Petunjuk

Kenabian berawal dari perjalanan spiritual dari makhluk ke Allah dan memperoleh kedekatan dengan-Nya. Perjalanan seperti ini mengandung arti meninggalkan yang lahir dan menuju ke yang batin. Namun demikian, pada akhirnya ujung perjalanan tersebut berupa kembalinya nabi kepada manusia dengan maksud mereformasi kehidupan manusia, dan memandu kehidupan manusia ke jalan lurus.

Dalam bahasa Arab, ada dua kata untuk nabi: Nabi dan Rasul Secara harfiah, arti nabi adalah orang yang membawa kabar, sedangkan arti rasul adalah utusan. Nabi membawa risalah Allah untuk manusia. Nabi menggali dan mengorganisasi kekuatan manusia yang terpendam. Nabi mengajak manusia untuk berpaling kepada Allah dan untuk mewujudkan apa yang diridai-Nya: Perdamaian, kebajikan, non-kekerasan, keadilan, kejujuran, kelurusan, cinta, keterbebasan dari segala yang berbau kekufuran, dan kebajikan-kebajikan lainnya. Nabi membebaskan umat manusia dari belenggu ketundukan kepada hawa nafsu dan Tuhan-tuhan palsu.

Dr. Iqbal, ketika menguraikan perbedaan antara nabi dan orang yang memiliki “pengalaman menyatu”, mengatakan:

“Orang sufi tak mau kembali dari kedamaian, “pengalaman menyatua-nya.. Kalau pun dia kembali, dan ini memang harus, kembalinya dia itu tak berarti banyak bagi umat manusia pada umumnya. Kembalinya nabi bersifat kreatif. Nabi kembali untuk memasuki jalan waktu dengan maksud mengendalikan kekuatan-kekuatan sejarah. Karena itu, nabi menciptakan dunia ideal yang baru. Bagi orang sufi, kedamaian “pengalaman menyatu” merupakan sesuatu yang final. Bagi nabi, itu merupakan kesadaran atau kebangkitan di dalam dirinya dan leluasanya kekuatan-kekuatan psikologis, yang diperhitungkan untuk sepenuhnya mentransformasi dunia manusia.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 124)

4. Ikhlas

Nabi percaya kepada Allah, dan tak pernah lalai dengan misi yang diamanatkan kepadanya oleh Allah. Nabi menunaikan tugasnya dengan sedemikian ikhlas. Tujuan nabi tak lain adalah membimbing umat manusia, seperti yang diperintahkan oleh Allah. Nabi tak minta upah untuk misinya.

Dalam Surah asy-Syu’arâ` diikhtisarkan apa yang dikatakan banyak nabi kepada kaum mereka. Tentu saja, setiap nabi membawa risalah untuk kaumnya. Dan risalah tersebut sesuai untuk problem-problem yang dihadapi kaumnya. Namun demikian, ada substansi yang diungkapkan dalam risalah setiap nabi. Setiap nabi berkata, “Aku tak menginginkan upah darimu.” Karena itu, tulus merupakan salah satu watak khas nabi. Itulah sebabnya risalah para nabi selalu begitu tegas dan pasti. Para nabi merasa “diangkat”, dan mereka sedikit pun tidak meragukan fakta bahwa mereka mendapat amanat berupa misi yang amat penting dan bermanfaat. Kemudian mereka menyampaikan risalah mereka, dan tanpa ragu membelanya dengan penuh kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Ketika Nabi Musa as dan saudaranya, Nabi Harun as menghadap Fir’aun, mereka sama sekali tak memiliki perlengkapan kecuali pakaian yang melekat di badan mereka dan tongkat kayu di tangan mereka. Mereka meminta Fir’aun agar menerima risalah mereka. Mereka mengatakan dengan pasti bahwa jika Fir’aun mau menerima risalah mereka, maka kehormatan Fir’aun akan terlindungi, dan kalau tidak, maka Fir’aun akan kehilangan pemerintahannya. Fir’aun terpesona dengan perkataan mereka.

Pada hari-hari pertama kenabiannya, ketika jumlah kaum Muslim tak lebih dari sepuluh orang, Nabi Muhammad saw suatu hari, yang dalam sejarah dikenal sebagai Hari Peringatan, mengumpulkan para senior Bani Hasyim, dan menyampaikan Risalahnya kepada mereka. Nabi saw dengan tegas mengatakan bahwa agamanya akan tersebar ke seluruh dunia, dan bahwa kalau mereka memeluk agamanya, maka hal itu adalah demi kepentingan mereka sendiri. Bagi mereka, kata-kata ini luar biasa. Mereka saling pandang dengan mata terbelalak. Kemudian mereka bubar tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Ketika pamannya, Abu Thalib, menyampaikan kepadanya pesan dari kaum Quraisy, yang isinya bahwa kaum Quraisy mau memilihnya menjadi raja mereka, mau menikahkannya dengan putri suku yang paling cantik, dan menjadikannya orang yang terkaya di masyarakat mereka, asalkan dia tak lagi berdakwah, Nabi Muhammad saw menjawab bahwa dirinya tak akan mundur satu inci pun dari misi sucinya, sekalipun mereka meletakkan matahari di tangannya yang satu dan bulan di tangannya yang satunya lagi. Kemaksuman merupakan hasil wajib dari komunikasi nabi dengan Allah. Begitu pula, tulus dan teguh had juga merupakan ciri khas wajib dari kenabian.

5. Konstruktif

Nabi mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk maksud-maksud membangun, yaitu untuk mereformasi individu-individu dan masyarakat, atau dengan kata lain untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Mustahil kalau aktivitas para nabi merugikan individu-individu atau merugikan masyarakat luas. Karena itu, jika ajaran seseorang yang mengaku dirinya nabi berakibat kerusakan atau ketidaksenonohan, melumpuhkan kekuatan manusia, atau menyebabkan jatuhnya martabat masyarakat, maka itu merupakan bukti jelas bahwa dia adalah penipu.

Dalam kaitan ini, Dr. Iqbal dengan jitu mengatakan: “Cara lain untuk mengetahui nilai pengalaman religius nabi adalah mengkaji tipe manusia seperti apa yang berhasil diciptakannya, dan dunia budaya yang terbentuk dari roh risalahnya.” (The Reconstruction of Religious Thought in Islam, hal. 124)

6. Perjuangan dan Konflik

Perjuangan seorang nabi menentang penyembahan berhala, mitos, kebodohan, pikiran palsu dan tirani, merupakan tanda lain kebenaran seorang nabi. Mustahil kalau dalam risalah seseorang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi nabi-Nya ada nada keberhalaan, nada yang mendukung tirani dan ketidakadilan, atau nada yang mentoleransi kemusyrikan, kebodohan, mitos, kekejaman atau kelaliman.

Tauhid, akal dan keadilan merupakan sebagian prinsip yang diajarkan oleh semua nabi. Risalah dari orang-orang yang mengajar-kan prinsip-prinsip ini sajalah yang patut dipertimbangkan, dan mereka sajalah yang dapat diminta untuk memberikan bukti atau mukjizat. Jika risalah yang disampaikan oleh seseorang mengandung unsur yang tak rasional atau bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid dan keadilan, atau mendukung tirani, maka risalah tersebut sama sekali tak patut dipertimbangkan. Dalam kasus seperti itu, sama sekali tak perlu memintanya untuk memberikan bukti yang memperkuat klaimnya. Begitu pula terhadap seorang penipu ulung yang berbuat dosa, yang melakukan kesalahan besar, atau yang tak mampu membimbing orang akibat mengidap cacat jasmani atau penyakit yang menjijikkan seperti lepra, atau akibat ajarannya tak memberikan dampak yang konstruktif pada kehidupan manusia. Andai saja penipu seperti itu memperlihatkan keajaiban, mustahil atau tak masuk akal untuk mengikutinya.

7. Sisi Manusia

Para nabi, sekalipun memiliki banyak kemampuan supranatural, seperti maksum, mampu melakukan perbuatan mukjizat, mampu membimbing dan merekonstruksi, dan mampu melakukan perjuangan luar biasa menentang kemusyrikan, mitos dan tirani, namun tetap manusia juga. Mereka, seperti manusia lainnya, makan, tidur, berketurunan dan akhirnya meninggal dunia. Pada diri mereka juga ada semua kebutuhan dasar manusiawi. Mereka berkewajiban menunaikan tugas-tugas agama seperti orang lain. Seperti orang lain, mereka juga tunduk kepada semua hukum agama yang disampaikan melalui mereka. Terkadang mereka bahkan memiliki tugas tambahan. Salat tahajud yang sunah bagi orang lain, wajib bagi Nabi Suci saw.

Para nabi tak pernah merasa diberi kebebasan untuk tidak mengikuti perintah agama. Dibanding orang lain, mereka justru jauh lebih takwa dan jauh lebih beribadah kepada Allah. Mereka melakukan salat, berpuasa, melakukan perang suci, membayar zakat, dan bersikap baik had kepada manusia. Para nabi bekerja keras untuk mendapatkan kesejahteraannya sendiri, dan juga untuk mewujudkan kesejahteraan bagi manusia. Di kala hidup, para nabi tak pernah menjadi beban bagi siapa pun.

Wahyu dan sifat-sifat khas yang berkaitan dengan wahyu, merupakan satu-satunya pembeda antara nabi dan non-nabi. Kenyataan bahwa nabi menerima wahyu tidak menaflkan kemanusiaan nabi. Kenyataan tersebut justru menjadikan nabi sebagai model “manusia sempuma”. Itulah sebabnya nabi sedemikian tepat untuk membimbing manusia.

8. Nabi Membawa Syariat (Hukum) Tuhan

Pada umumnya ada dua golongan nabi. Golongan pertama, yaitu golongan kecil, adalah nabi-nabi yang mendapat syariat sendiri, yang diperintahkan untuk memberikan petunjuk kepada manusia dengan berbasiskan syariat. Al-Qur’an Suci menyebut para nabi ini dengan sebutan nabi-nabi “berjiwa besar atau berhati mulia.” Kita tak tahu persis berapa jumlah mereka. Al-Qur’an Suci dengan tegas mengatakan telah menceritakan hanya kisah-kisah tentang sedikk nabi. Kalau saja kisah-kisah tentang semua nabi itu dicedtakan, atau setidaknya Al-Qur’an Suci menyatakan telah menceritakan kisah-kisah tentang semua nabi yang penting, tentu kita akan tahu jumlah nabi yang berjiwa besar atau berhati mulia itu. Namun, kita tahu bahwa Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as dan Nabi terakhir Muhammad saw, termasuk di antara nabi-nabi itu. Syariat diberikan kepada semua nabi yang berhati mulia dan berjiwa besar itu. Nabi-nabi ini diperintahkan untuk mendidik para pengikut mereka dengan berdasarkan syariat.

Golongan kedua, adalah nabi-nabi yang tidak memiliki syariat sendiri. Meski demikian, mereka ini diperintahkan untuk mendakwahkan syariat Tuhan yang sudah ada. Kebanyakan nabi termasuk dalam golongan ini. Dalam golongan ini terdapat nama-nama seperti Hud as, Saleh as, Luth as, Ishaq as, Ya’qub as, Yusuf as, Syu’aib as, Harun as, Zakaria as dan Yahya as.

One Response to Wahyu dan keNabian

  1. Anonim says:

    mksih ts ilmunya,,,,

Tinggalkan Komentar